Meruwat Indonesia

Seseorang paruh-baya itu memasuki rumah seorang paranormal yang terletak lima puluh meter dari puncak sebuah gunung. Tanpa ragu, ia melangkah dan menemui si mbah paranormal.

“Nama kamu?”

“Indonesia mbah.”

“Siapa?”

“I-n-d-o-n-e-s-i-a.”

“Tanggal lahir, kapan?”

“Tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima.”

mBah paranormal mencorat-coret di atas kertas apa yang diucapkan seseorang yang bernama Indonesia itu. Sunyi. Hanya terdengar goresan pulpen biru milik mbah paranormal. Seseorang yang bernama Indonesia itu melirik kertas di depan mbah paranormal, tertulis: INDOnesia – inDONEsia – indONEsia – indonESIA.

Dahi mbah paranormal berkerut. Lalu serta merta ia coret tulisan: INDOnesia – inDONEsia – indONEsia – indonESIA. Tersenyum sekejap, lalu matanya mendelik. Geleng-geleng kepala.

“Ada apa mbah?”

“Namamu perlu diganti. Nama yang cocok untukmu: NUSANTARA. Tapi, sebentar. Aku lihat perwatakanmu dari tanggal kelahiran.”

mBah paranormal kembali menekuni kertasnya. Ia berdiri untuk meraih kitab primbon warisan kakek buyutnya yang terletak di atas lemari. Ia bergumam sendiri.

“Tujuh belas agustus sembilan belas empat lima. Pas Jumat Legi tanggal 8 Pasa 1876, tahun Ehe atawa 8 Ramadhan 1364 Hijriyah. Hmm… windu: Kuntara, lambang: Langkir. Ya..ya.. sanggar waringin, aras tuding.”

mBah paranormal memejamkan mata, memusatkan pikiran untuk membaca watak-weton Indonesia. Lalu, seseorang yang bernama Indonesia itu memberanikan diri mengusik konsentrasi mbah paranormal.

Pripun, mbah?”

“Sebenarnya watak-wetonmu itu lumayan bagus. Pada dasarnya kamu murah hati, pandai dalam pergaulan, selalu riang gembira seperti tidak pernah merasakan susah, kuat tidak tidur malam, banyak keberuntungan. Selain itu kamu suka memberi, tidak pernah meminta bahkan kamu akan memberikan sampai pada tetes darah yang penghabisan.”

“Yang lain apa mbah?”

“Hanya sayangnya kamu begitu lemah, mudah diperdaya. Sering kena fitnah. Sering mendapat malu atawa dipermalukan. Selalu kena tunjuk dalam berbagai perkara dan itu tidak ada habis-habisnya.”

“Bagaimana menangkalnya, mbah?”

“Kamu perlu diruwat!”

Seseorang yang bernama Indonesia itu tak habis mengerti, kenapa ia mesti diruwat. Ia keluar dari ruang mbah paranormal, lalu berlari menuju padang luas. Ia berteriak sekeras-kerasnya. Ia menangis semeraung-raungnya. Ia jambak rambutnya sekuat-kuatnya. Ia terkulai selemas-lemasnya.

Lalu hanya sepi.