Perjalanan Menuju Al Madinah Al Munawwaraah

Seharian itu, saya dan teman-teman sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa ke Madinah. Sebagian barang dan oleh-oleh ada yang sudah dipaketkan ke tanah air. Waktu saya tinggal untuk melaksanakan Tawaf Wada’ semua barang sudah rapi, kalau “sewaktu-waktu” harus segera meninggalkan maktab tinggal angkut saja.

Kenapa saya bilang “sewaktu-waktu”, karena sudah menjadi kebiasaan “panitia” di Saudi Arabia sana jadual yang telah disusun tidak bakalan tepat waktu. Selalu diburu-buru atau diulur-ulurkan waktunya. Contoh:

  1. Ketika di Bandara Jeddah, harusnya kami cuma istirahat setengah jam, nyatanya 4 jam kemudian baru diberangkatkan ke Mekkah.
  2. Jadual berangkat ke Arafah dijadualkan jam 9 pagi, makanya sejak pagi kami sudah siap dengan pakaian ihram, ternyata jam 13.00 bus baru datang menjemput kami.
  3. Selesai wukuf di Arafah, kami dikasih tahu kalau berangkat ke Muzdalifah jam 8 malam. Lumayan bisa untuk makan malam dan tidur-tiduran sejenak. Tetapi kenyataannya, makan baru dapat separo kami diburu-buru untuk segera menuju bus. Amboi, ternyata menunggu busnya hampir 1,5 jam.
  4. Dari Muzdalifah ke Mina pun demikian, serba diburu-buru.
  5. Kemudian dari Mina ke Mekkah, jadual dipercepat 3 jam!

Dan kami mengalami lagi untuk perjalanan ke Madinah ini. Waktu dipercepat 2 jam, seharusnya jam 10 kami berangkat, tapi jam 8 harus segera keluar maktab karena bus sudah datang. Tapi ujung-ujungnya kami berangkat juga jam 10, karena 2 jam waktu habis untuk “bertarik urat leher” dengan sopir bus. Apa pasal? Sopir tidak mau menjalankan bus, kalau ada barang/tas di lorong bus. Terpaksa kursi paling belakang kami kosongkan untuk meletakkan barang-barang kami, karena bagasi bus (yang ada di atap bus) sudah tidak ada space lagi karena telah dipakai untuk menaruh koper-koper besar kami).

Perjalanan malam sepanjang 470 km ini sepenuhnya tidak bisa saya nikmati, karena di luar gelap. Tapi saya sempat membayangkan perjalanan hijrah Rasulullah SWA dari Mekkah ke Madinah. Saya pun segera terlelap. Di pertengahan perjalanan, bus berhenti untuk istirahat. Saya turun untuk mencari toilet. Udara di luar sangat dingin, buru-buru saya masuk bus lagi.

Menjelang subuh kami sampai di kota Al Madinah Al Munawwaraah (Kota yang disinari dan menyinari). Madinah termasuk dataran tinggi, letaknya 660 meter di atas permukaan laut. Saat tiba di sana, dinginnya langsung menembus ke tulang saya.

Pembagian kamar agak semrawut dan saya mendapatkannya di lantai 4. Seperti Mekkah dulu, pagi itu saya melakukan orientasi lapangan. Masjid Nabawi yang saya rindukan untuk melakukan shalat fardhu 40 waktu berturut-turut tanpa putus (disebut Arba’in) terlihat dari maktab saya. Indah sekali.