Menjadi santri Gus Baha

Judul: Bahagia Beragama Bersama Gus Baha • Penulis: Khoirul Anam • Penerbit: Quanta, 2022 • Tebal: xv+144 hal

Saya ini Jamaah Yutubiyah – mengaji via kanal Yutub – kepada para Kiai yang isi ceramahnya menenteramkan jiwa saya. Ada banyak sekali ustadz atau kiai yang ceramahnya di-up load di Yutub, baik penceramah karbitan yang tidak jelas sanad keilmuannya, hingga mereka yang benar-benar orang alim yang ilmunya mencerahkan  bagi mendengar atau mengikuti kajiannya.

Awal saya mengenal Gus Baha dari status WA kawan saya. Ia sering memasang status ceramah Gus Baha, ringan interesan. Dalam ceramahnya, Gus Baha mengembalikan marwah agama yang sebenarnya. Agama terasa sangat mudah untuk dipahami dan diamalkan. Agama menjadi sumber kebahagiaan. Sejak saat itu, saya ‘menjadi santri Gus Baha” ya sebagai Jamaah Yutubiah itu – menyimak pengajiannya melalui kanal Yutub.

***

Buku ini merupakan kumpulan catatan pendek dari ceramah-ceramah Gus Baha yang beredar di berbagai platform media, mulai dari YouTube, unggahan di Facebook atau Instagram, hingga potongan-potongan video beliau di group-group WA.

Kali ini, Gus Baha punya komentar unik tentang perilaku sebagian orang yang menyebut sudah melakukan hijrah seperti dianjurkan agama, padahal yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar berganti gaya berbusana. Yang semula tak mengenakan jilbab, kini menutup aurat. Semula berpenampilan biasa, kini memaksakan berjenggot dan menghitamkan jidat di bagian muka.

Secara sederhana, hijrah adalah meninggalkan larangan Allah. Karenanya, hijrah tak hanya dilakukan dengan pakaian tertutup, hijab panjang, celana di atas mata kaki, jubah, dsb. Tentu tidak salah mengubah penampilan, tetapi pakaian tersebut bukanlah standar kesalehan. Sama sekali bukan.

Gus Baha malah mewanti-wanti agar tidak membatasi makna hijrah pada jenis pakaian yang dikenakan. Kalau kita menganggap mengenakan pakaian tertentu itu sunah, maka secara otomatis kita akan menganggap bahwa mengenakan pakaian yang lain tidak sunah, atau bahkan menyalahi aturan. Gus Baha mencontohkan soal jubah. Rasul dulu memang mengenakan jubah, dan karenanya itu sunah, tetapi letak kesunahannya bukan hanya pada jenis pakaian yang dikenakan, melainkan alasan Rasul mengenakan jenis pakaian tersebut.

Saat itu, jubah adalah jenis pakaian khas bangsa Arab. Rasul mengenakan jubah sebagai penghormatan terhadap budaya setempat, lagipula, jenis pakaian ini tidak bertentangan dengan aturan Islam, terutama soal menutup aurat.

Dengan memahami aturan Rasul di atas, kita pun akan paham bahwa mengenakan pakaian khas budaya kita masing-masing, selama tidak bertentangan dengan aturan agama, sangat boleh dan bisa jadi sunah pula.

“Kalau seseorang mengikuti sunah Nabi hanya dengan ikut-ikutan mengenakan jubah, maka nilai sunahnya hanya senilai jubah itu. Berbeda jika seseorang mengikuti sunah Nabi dalam hal berpikir dan juga berperilaku. Ini nilainya jauh lebih tinggi,” jelas Gus Baha. [Hijrah Kok Sebatas Jubah, hal 114]