Ada rasa kagum yang luar biasa ketika saya dan rombongan memasuki area Istana Gu Gong, tempat tinggal Kaisar Cheng Tsu. Kekaguman saya bercampur kegumunan setelah menyaksikan betapa megah dan indahnya Istana Gu Gong.
Saya dijadwalkan bertemu Kaisar Cheng Tsu, esok harinya. Saya dan rombongan dijamu dengan sewajarnya sebagaimana penerimaan tamu kenegaraan. Setara, meskipun Majapahit mempunyai kesalahan fatal terhadap pemerintahan Kaisar Cheng Tsu.
“Saya utusan Prabu Wikramawardhana raja Majapahit menghaturkan salam sejahtera bagi Kaisar dan seluruh rakyat Tiongkok.”
Saya membuka percakapan. Kaisar Cheng Tsu mengangguk pelan. Kembali saya berkata dengan sangat hati-hati.
“Kami sangat menyesalkan insiden penyerangan terhadap awak kapal Laksamana Cheng Ho, sebab kami mengira armada kapal Laksamana Cheng Ho akan membantu pihak pemberontak yang tengah kami tumpas. Maaf, rupanya kami keliru. Kedatangan Laksamana Cheng Ho ke bumi Nusantara bukan membawa misi peperangan tetapi misi kebudayaan dan perdagangan.”
“Lalu, bagaimana dengan tuntutan ganti rugi yang kami ajukan, Kyaine?”
“Perang saudara yang terjadi di wilayah kami, telah membuat kami defisit anggaran. Ibaratnya menang jadi arang, kalah jadi abu. Tuntutan Kaisar enam puluh ribu tahil, hanya kami sanggupi seperenamnya.”
Saya berusaha tegar meskipun suara saya jelas terlihat gemetar. Saya menunggu reaksi terburuk yang bakal terjadi.
“Apa?!! Cuma seperenamnya? Bukankah Majapahit kerajaan yang besar?! Wilayahnya sangat luas. Armada lautnya moncer, terkenal di mana-mana. Jangan coba-coba berlaku curang terhadap Tiongkok!”
“Ampun, Kaisar. Majapahit gemilang cerita belasan tahun lalu. Seperti saya bilang sebelumnya, saat ini kami hampir bangkrut gara-gara perang saudara, antara menantu Prabu Hayam Wuruk dengan putra Prabu Hayam Wuruk yang terlahir dari selir beliau.”
Seorang pengawal Kaisar Cheng Tsu membisikkan sesuatu dan membuat Kaisar Cheng Tsu mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah apa yang dibisikkan, tetapi raut muka Kaisar Cheng Tsu yang semula kesumba menjadi kuning kembali.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan kami agar Majapahit melindungi warga Tiongkok yang mukim di Majapahit?”
“Kami melindunginya dengan jiwa raga kami, Kaisar. Kami memberikan kebebasan kepada warga Tiongkok untuk berniaga, bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan kami memberikan jaminan mereka boleh melakukan peribadatan dengan membangun vihara.”
“Hal itu yang saya harapkan Kyaine. Di masa mendatang, orang-orang Tiongkoklah yang akan memajukan perekonomian dan kebudayaan di Majapahit.”
“Jadi, bagaimana dengan ganti rugi sepuluh ribu tahil ini, Kaisar?”
“Saya terima. Sekarang kalian istirahatlah barang sehari-dua di Istana Gu Gong.”
Saya lega. Saya menuruni tangga istana dengan hati berbunga.
“Kene dan Kono, urusan kita selesai sudah. Lihatlah tangga yang kita injak ini. Di masa depan akan terukir hubungan akrab antara Nusantara dan Kerajaan Tiongkok. Di tengah-tengah undak-undakan tangga ini, menurut penerawangan saya, bakal ditempatkan sebuah ukiran dengan motif mega mendung.”
Dua cantrik saya terbengong mendengar penjelasan saya.
***
Memang benar, Majapahit mempunyai komitmen melindungi warga Tiongkok yang mukim di wilayah Majapahit. Misalnya, permukiman Tiongkok di Lasem benar-benar terjamin dari berbagai macam gangguan. Kelak, ketika Prabu Wikramawardhana digantikan oleh putrinya, Dewi Suhita, jaminan keamanan tetap dilakukan.
Hubungan Majapahit dan Tiongkok semakin istimewa. Pada pelayaran tahun 1423, Laksamana Cheng Ho menempatkan seorang atase perdagangan di Tuban, namanya Gan Eng Cu sebagai wakil Kaisar Tingkok di Majapahit. Kelak, Gan Eng Cu diambil menantu oleh Adipati Tuban Arya Adikara.
Tuban semakin maju perekonomiannya. Kotanya semakin besar dan makmur. Kebalikannya, ibukota Majapahit makin redup. Diam-diam, pejabat Majapahit memprovokasi masyarakat lokal untuk berbuat anarkis. Terjadilah huru-hara dan penjarahan besar-besaran. Tuban dalam keadaan genting.
Tamat.