Lelaki sepuh berbalut jubah serba putih itu tersenyum pada saya, dan kami saling berpelukan. Dua sahabat lama berjumpa lagi.1 Gajah Mada yang selama ini seperti hilang ditelan bumi paska peristiwa Perang Bubat, kini muncul di kapal yang saya tumpangi menuju Tiongkok.
“Ke mana saja kau selama ini, kakang Mada?”
“Aku tidak ke mana-mana. Aku sengaja mundur dari hingar-bingar perpolitikan Majapahit. Biarlah anak-anak muda yang kini menggerakkan Majapahit.”
“Tapi, kenapa kakang Mada muncul di kapal ini? Hendak ke mana?”
“Aku ingin pergi ziarah ke wilayah Mongol negeri leluhurku sebelum raga ringkihku ini menyatu dengan bumi.”
Di bawah temaram sinar lampu kapal, saya amati wajah Gajah Mada. Masih belum banyak berubah sejak pertama kali saya mengenalnya selepas ia mengucapkan Sumpah Hamukti Palapa di balairung istana Majapahit beberapa puluh tahun lalu.2 Tapi, benarkah ia keturunan Mongol?
“Saya sungguh terkejut jika kakang Mada mengaku berasal dari Mongol. Sebab selama ini banyak spekulasi yang muncul tempat asal-usul kakang Mada. Selentingan yang saya dengar dari prajurit Bhayangkari, kakang Mada memang berasal dari Mongol.”
“Ada yang bilang aku berasal dari Minangkabau ya? Gara-gara nama belakangku, mada yang berarti bandel he..he..he..”
Ya, memang banyak sekali versi yang muncul tentang sosok mahapatih Majapahit yang sangat kesohor itu. Ada yang bilang Gajah Mada berasal dari Bima, Bali atau Lamongan.
“Jadi betul kalau kakang Mada ini salah satu putera Kubilai Khan atau buyutnya Jenghis Khan?”
Saya memberanikan bertanya seperti itu untuk mendapatkan konfirmasi langsung dari Gajah Mada yang kini berdiri tepat di hadapan saya. Gajah Mada melumuri wajahnya dengan senyum tulusnya.
“Sekarang kita istirahat, Kyaine. Perjalanan kapal ini masih lama. Besok kita lanjutkan obrolan kita.”
Saya bagai tersihir. Sosok Gajah Mada sudah hilang dari hadapan saya, beberapa detik kemudian saya baru menyadarinya.
Esok menjadi lusa, kemudian tulat berubah menjadi tubin saya tak bertemu lagi dengan Gajah Mada. Saban hari saya mengelilingi kapal dan bertanya kepada awak kapal tentang sosok Gajah Mada tak ada yang tahu. Sementara kapten kapal memberitahu kepada seluruh penumpang kalau beberapa saat lagi kapal akan mendarat di pantai di salah satu sudut Tiongkok.
Saya mempersiapkan mental untuk bertemu dengan Kaisar Cheng Tsu. Setelah pertemuan dengan Gajah Mada kondisi mental saya berasa lebih kuat, setidaknya saya merasa yakin kalau sebetulnya Gajah Mada sedang membayangi kepergian saya ke Tiongkok.
Catatan kaki:
1Baca artikel Pitaloka
2Baca artikel Kabinet Gajah Mada