Menjadi duta nego #2

Arkian, dalam urutan esok-lusa-tulat-tubin atau hari ke empat setelah pertemuan dengan Prabu Wikramawardhana saya pun berangkat ke Tiongkok untuk menjadi duta negoisasi mewakili Majapahit. Kapal yang saya tumpangi berangkat dari Tuban. Kapal semakin menjauhi pantai, saya masih di buritan menyaksikan Majapahit dari arah senja.

Tubuh lelaki tua seperti saya ini sudah tidak tahan terkena angin laut. Maka, saya pun segera masuk ke kabin saya. Kepergian saya ke Tiongkok tidak sendiri, melainkan ditemani oleh dua cantrik yang setia: Kono dan Kene, dan beberapa prajurit pengusung kotak emas yang beratnya hampir empat kuintal tersebut.

“Wedang jahenya diunjuk, Kyaine?!” Kono menawarkan secangkir wedang jahe yang masih panas.

Saya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

“Kira-kira nanti Kaisar Cheng Tsu bakal murka nggak ya, kang. Soalnya Majapahit hanya mampu membawa jumlah emas seperenamnya saja dari yang diminta Kaisar,” tanya Kono kepada saudaranya, Kene.

Hayo embuh. Pripun, Kyaine?” kata Kene.

“Dipikir karo mlaku wae,” jawab saya sambil menyeruput wedang jahe bikinan Kono.

Kene bersandar di kaki dipan saya mendendangkan tembang-tembang Macapat yang isinya tentang kejayaan Majapahit. Saya ingat betul saat dulu mendampingi Prabu Hayam Wuruk berdiskusi dengan Mahapatih Gajah Mada mengenai kemajuan Majapahit. Hhh… kini Majapahit di ambang senjakala.

Saiki nembango Sekar Kinanthi, ngger,” pinta saya kepada Kene yang suaranya memang ngedap-ngedapi.

Maka, dari bibir Kene terdengar tembang Sekar Kinanthi yang menceritakan tentang Hanoman Duta, untuk pembebasan Dewi Sita dari cengkeraman Rahwana. Ah, pandai sekali Kene mengambil tema tembang macapat. Mirip misi yang saya bawa ke Tiongkok kali ini, menjadi duta Majapahit, bukan untuk membebaskan Dewi Sita melainkan membebaskan hutang Majapahit sebesar 50.000 tahil.

Kegelapan malam sepenuhnya telah menguasai samudera, mata saya belum juga mampu terpejam. Saya langkahkan kaki keluar kabin untuk menuju geladak kapal.

Jutaan bintang bertaburan di angkasa yang gulita. Saya mereka-reka formasi zodiak yang mereka bentuk. Di mana letak zodiak saya?

“Selamat malam, Kyaine.”

Terdengar suara bariton menyapa saya.

“Kakang Mada, kah itu?”