Barangkali sudah hampir lima menit saya menghadap Prabu Wikramawardhana, namun belum juga saya ditanyai olehnya, gerangan apa yang akan disampaikan oleh Raja Majapahit, anak lelaki Hayam Wuruk yang lahir dari rahim Sri Sudewi itu. Sedari tadi saya hanya mampu menatap garis-garis ubin, sesekali melirik jari manis kaki Raja Majapahit yang mempunyai luka yang belum kering benar. Seekor lalat hinggap di sana dan saya ingin mengusir lalat itu, tetapi saya tak ada keberanian.
Sepertinya Prabu Wikramawardhana sedang mempunyai persoalan berat. Sesekali saya mendengar tarikan nafas yang dipaksakan lalu dengan dibuangkan dengan serta-merta. Ya, Majapahit hampir bangkrut. APBN-nya morat-marit akibat Perang Paregreg, sebuah perang saudara yang melumatkan sendi-sendi kehidupan Majapahit.
Saya yang selama ini menjadi penasihat pribadi Prabu Hayam Wuruk almarhum seperti disingkirkan. Saya sudah memberikan masukan kepada Prabu Wikramawardhana tak perlulah Majapahit menggempur Blambangan lalu memenggal kepada Minakjingga. Tapi kayu sudah terlanjur menjadi arang. Dan kini saya bingung kenapa ia memanggil saya untuk menghadapnya.
“Kyaine!”
Akhirnya ia menyebut nama saya. Tak perlu menunggu jeda, saya pun menghaturkan sembah takzim saya sebagai kawula Raja Majapahit yang tidak mempunyai keturunan anak lelaki tersebut.
“Pergilah menghadap Kaisar Cheng Tsu di Tiongkok sana dan bawalah sepuluh ribu tahil emas.”
Kejadian beberapa bulan sebelumnya, di Majapahit tengah terjadi Perang Paregreg.
Pelayaran Laksamana Cheng Ho ke Majapahit dihadang oleh pasukan Majapahit, sebab kedatangannya dari negeri Tiongkok dikira akan membantu kubu Minakjingga. Pertempuran tak bisa dielakkan sehingga menyebabkan ratusan awak kapal Laksamana Cheng Ho tewas mengenaskan. Tidak hanya itu, warga Tiongkok yang telah lama bermukim di pesisir pantai utara Jawa pun dibabat oleh para prajurit Majapahit.
Laksamana Cheng Ho segera menemui raja Majapahit, Prabu Wikramawardhana untuk menyampaikan duduk permasalahannya bahwa misi yang ia bawa adalah perdagangan. Wikramawardhana segera memulihkan situasi, dan berjanji mengganti semua kerugian yang diderita oleh Laksamana Cheng Ho. Raja Majapahit segera mengirim duta untuk menghadap Kaisar Cheng Tsu.
Sepulang dari Tiongkok, duta Majapahit membawa dua pesan Kaisar Cheng Tsu yakni pertama, Kaisar Cheng Tsu minta ganti rugi sebesar enam puluh ribu tahil emas. Satu tahil beratnya setara 37,8 gram, dan kedua, Kaisar minta kepada Raja Majapahit melindungi orang-orang Tiongkok yang tinggal di Majapahit.
Permintaan pertama sulit dipenuhi Majapahit, tetapi untuk permintaan kedua, Majapahit melakukan perlindungan terhadap orang-orang Tiongkok dengan penuh kekuatan.
“Kyaine, kini tugasmu melakukan negosiasi dengan Kaisar Cheng Tsu kalau Majapahit hanya mampu memberikan ganti rugi seperenam yang ia minta.”
Prabu Wikramawardhana meninggalkan tempat duduknya tanpa menunggu jawaban dari mulut saya.
Sanggup atau nggak?