Mengendus aroma Glagahwangi

Setelah berkesempatan mengelus-elus Singgasana Panembahan Senapati, saya pergi ke Demak Bintara – jarak sejarah seratus tahun dibandingkan Kerajaan Mataram mulai dibangun oleh Sutawijaya – untuk mengendus aroma Glagahwangi. Ya, dulu sekali di saat akhir runtuhnya Majapahit (disebut pada tahun 1478), Raden Fatah yang berkedudukan di tlatah Glagahwangi (Demak) mulai mendirikan Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan kawalan para wali.

Berkunjung ke Masjid Agung Demak pernah saya lakukan saat SD dulu, di mana ingatan saya tentangnya sangat lamat-lamat. Kunjungan kedua kali ini terasa berbeda karena seolah-olah napak tilas kisah sejarah yang tersimpan di fikiran setelah banyak membaca tentang sejarah Majapahit hingga berdirinya Mataram.

“Pa, kok bangunan Kerajaan Demak nggak ada bekasnya?” tanya Kika, saat kami berada di Museum Masjid Agung Demak.

“Iya, bisa jadi pusat kerajaan ya ada di sini ini. Lihat Masjid Agung tadi, bangunannya mayoritas berupa kayu bukan? Bisa jadi keraton tempat tinggal raja juga dari kayu, mungkin sudah lama lapuk dan musnah. Kemungkinan juga, Raden Fatah dan para wali mengikuti jejak Kanjeng Nabi yang punya pusat pemerintahan di Masjid Nabawi sementara rumah Kanjeng Nabi menempel padanya. Pun dengan Raden Fatah sebagai Sultan mungkin rumahnya di sekitar masjid ini,” ujar saya, berandai-andai.

Di dalam museum tersimpan 4 tiang asli (kayu jati) yang dulu dibuat oleh para wali sebagai tiang utama Masjid Demak. Tiang tersebut diberi nama berdasarkan pembuatnya yakni bagian barat laut oleh Sunan Bonang, bagian barat daya oleh Sunan Gunung Jati,  bagian tenggara oleh Sunan Ampel dan bagian timur laut oleh Sunan Kalijaga. Paling unik adalah tiang keempat yang didirikan oleh Sunan Kalijogo.

Sunan Kalijogo meminta waktu kepada Sunan Kudus untuk menyelesaikan saka keempat mesjid agung malam itu juga. Maka, para tukang kayu bekerja di bawah supervisi Gan Si Cang. Dengan pengalamannya membuat jung kapal yang besar, Gan Si Cang membuat saka keempat bukan dari sebatang kayu yang  utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok kayu/tatal yang dilem dan diikat menjadi satu bentuk saka yang kokoh. Menggunakan sistem puzzle, gitu deh.

Malam itu, Sunan Kalijogo dan Gan Si Cang bersama timnya, menyelesaikan saka keempat. Tiang yang terletak di timur laut berdiri kokoh bersama ketiga tiang lainnya. [Kyaine dalam artikel Gan]

Selain tiang-tiang masjid yang asli, di museum terdapat bedug, Pintu Bledeg yang dibikin oleh Ki Ageng Sela, Lampu Robyong, senjata, serta daftar silsilah para wali. Ada cerita menarik mengenai Pintu Bledeg ini yakni pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Sela pada tahun 1466 M itu dari kayu jati diukir dengan motif tumbuh-tumbuhan, jambangan, suluran, mahkota, serta kepala naga dengan mulut terbuka menampakkan gigi-giginya yang runcing. Konon motif naga ini menggambarkan bledeg (petir) yang pernah ditangkap oleh Ki Ageng Sela. Pintu Bledeg menjadi pintu utama masuk masjid.

Di belakang masjid terdapat makam-makam Sultan Demak dan kerabatnya. Begitu memasuki areal makam, kita akan dikejutkan oleh sebuah batu nisan yang panjangnya berkisar 3 m yaitu makam Raden Benowo (putra Joko Tingkir/Sultan Hadiwijaya). O, ternyata ukuran nisan yang super panjang tak hanya milik Raden Benowo saja, Sultan Demak ukurannya lebih panjang dan besar. Agak ke belakang akan ditemukan makam Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan yang tewas dibunuh oleh Sutawijaya.

Berbeda ketika menziarahi makam-makam raja Mataram dengan syarat dan ketentuan berlaku, ziarah di makam Sultan Demak lebih simpel, para peziarah duduk manis di tempat yang telah disediakan (tanpa kembang setaman dan kemenyan), secara berkelompok masing-masing ndremimil bertahlil, bertawasul, doa-doa lain atawa sekedar membaca surat Fatihah seperti yang saya lakukan.

Namun, tak sedikit orang ngalap berkah di Masjid Agung Demak yang diyakini pernah menjadi tempat berkumpulnya Walisanga, di depan makam Sultan Fatah atawa membawa pulang air dari gentong yang usia ratusan tahun.