Mengawini Trio Macan

Kisah ini terjadi jauh sebelum Kurawa dan Pandawa lahir.

Prabu Citrangada – putra mahkota Kerajaan Hastinapura, gugur dalam suatu pertempuran. Anak pertama perkawinan Sentanu dengan Setyawati itu tewas ketika melawan sepasukan gandarwa yang menyerang Hastinapura. Otomatis, kedudukan putra mahkota diserahkan kepada adiknya yang bernama Wicitrawirya.

Syahdan, di negeri seberang sedang dilaksanakan sebuah kompetisi pencarian jodoh yang diselenggarakan oleh Raja Kasi. Ia ingin mencarikan suami bagi ketiga anak gadisnya. Di kalangan sosialita, ketiga gadis dikenal dengan sebutan Trio Macan, sebuah sebutan yang pantas disandang oleh mereka karena parasnya yang manis dan cantik. Mereka adalah Amba dan dua adiknya yang kembar, Ambika dan Ambalika.

Resi Bhisma juga mendengar adanya kompetisi tersebut, dan ia ingin mendaftar sebagai salah satu pesertanya. Eits, jangan salah. Bhisma memang sudah bersumpah tak akan kawin selamanya, namun keterlibatannya dalam kompetisi itu dalam upayanya mencarikan caloh istri untuk adik tirinya, yang tak lain adalah Wicitrawirya. Bhisma adalah anak Sentanu dengan Dewi Gangga.

Sebenarnya, banyak ksatria yang kecewa dan menyesalkan keterlibatan Bhisma dalam kompetisi pencarian jodoh itu, tetapi karena Bhisma tak melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Raja Kasi terpaksa mereka harus melawan Bhisma. Hanya saja, Bhisma tak menceritakan latar belakang keikutsertaannya dalam kompetisi tersebut. Para ksatria sesungguhnya pada keder dan takut, wong Bhisma itu terkenal sangat sakti dan piawai memainkan berbagai macam senjata.

Singkat cerita, Bhisma sang perjaka tua itu, memenangkan kompetisi dan berhak memboyong Trio Macan ke Hastinapura.

Dengan mengendarai sendiri Pajero putih miliknya, ketiga gadis manis dan cantik itu duduk di kursi belakang. Sesekali mata Bhisma melirik ke arah Amba, yang sedari tadi berwajah manyun. Ia sibuk dengan ponselnya. Tanpa sepengetahuan Bhisma, Amba baru saja mengirim pesan kepada kekasihnya untuk mencegatnya di tengah jalan. Ia tak suka nekjika beristrikan Bhisma yang sudah tua itu.

~oOo~

Bhisma menginjak rem secara mendadak ketika diketahuinya ia sedang dihadang oleh mobil Hardtop merah. Seorang pemuda turun dari jeep dengan ban radial super besar dan menghampiri Bhisma. Ia mengetok kaca jendela Pajero putih milik Bhisma. Pemuda gagah itu bernama Salwa, pacarnya Amba, juga juga seorang Raja dari Kerajaan Saubala.

Salwa meminta Bhisma memberikan Amba kepadanya. Bhisma bergeming dan berniat meneruskan perjalanan ke Hastinapura. Salwa tersinggung dan mengajaknya berkelahi. Terjadi perang tanding di jalanan, dan ditonton banyak orang. Tentu saja Salwa takluk, karena kemampuan Salwa nggak ada apa-apanya dibanding kesaktian Bhisma.

~oOo~

Hastinapura pun segera menyelenggarakan perhelatan agung perkawinan Trio Macan dengan Raja muda Hastinapura, Wicitrawirya. Ribuan tamu hadir untuk menyaksikan the royal wedding itu. Ketika acara pemberkatan akan dimulai, Amba mendekati Bhisma.

“Wahai Putra Gangga, sebagai seorang bijak bestari sampeyan mestinya paham akan aturan dalam kitab-kitab suci, bahwa aku, Amba, hatiku telah terjerat sangat erat pada Salwa. Apakah pantas, sampeyan tetap memaksakan kehendak mengawinkan aku dengan adikmu Wicitrawirya?” suara Amba lantang, hingga dapat didengar oleh para tamu undangan.

“Kamu benar Amba, aku dapat menerima keberatanmu. Ntar kamu tak antar ke Salwa. Kini biarlah, kedua adik kembarmu dipersunting oleh Wicitrawirya,” kata Bhisma kalem.

~oOo~

Seusai acara perhelatan agung itu, Bhisma mengantarkan Amba ke Kerajaan Saubala untuk mempertemukan Amba dengan Salwa. Belum juga sempurna Bhisma memarkir mobilnya, Amba sudah keluar dari mobil dan berlari mencari Salwa.

“Duhai Salwa kekasihku, ini aku Amba, kekasih hatimu. Kalau memang sudah jodoh tak akan lari ke mana. Aku ke sini diantar oleh Bhisma yang sebelumnya sudi menerima penolakanku untuk dikawinkan dengan adik tirinya. Cepat, sebelum Bhisma berubah pikiran jadikan aku permaisurimu,” ujar Amba sambil memegang kedua tangan Salwa.

Diam sejenak. Amba mengambil nafas. Ditatapnya mata Salwa. Ada kekecewaan di sana. Amba terkejut, namun terlambat.

Nggak…. nggak bisa Amba. Kemarin dulu Bhisma telah mengalahkanku dan membawamu lari ke Hastinapura. Insiden itu ditonton banyak orang. Aku malu dan sangat terhina, Amba! So, aku nggak bisa menerimamu menjadi istri apalagi permaisuriku. Wis, sekarang kembalilah ke Bhisma!” kata Salwa.

Amba terkejut alang-kepalang dengan ujaran Salwa, kekasih yang dirindukan siang dan malam. Ia tak paham kenapa ucapan dan tindakan Salwa demikian menyakitkan hatinya. Gila, pikir Amba. Bagaimana rasa kehormatan lelaki mengalahkan semua emosi di muka bumi? Oh, Salwa engkau malu, engkau punya harga diri yang lebih tinggi ketimbang cintamu kepadaku.

Para dalang kemudian bercerita bahwa Putri Amba menyimpan dendam kesumat sebesar samudra. Seluruh hidupnya adalah persiapan pembalasan terhadap kaum lelaki.1

~oOo~

Sementara itu, di salah satu sudut keraton, Wicitrawirya sedang berasoi-asoi dengan Ambika dan Ambalika yang kini telah sah menjadi istrinya. Kelak, Wicitrawirya mati muda. Kedua jandanya dikawini oleh Abiyasa. Dari perkawinan itu Ambika melahirkan seorang bayi buta yang diberi nama Destarasta – ayah para Kurawa, sementara Ambalika melahirkan bayi berparas lebih tampan tapi cacat juga yang diberi nama Pandudewanata  – ayah para Pandawa.

Lalu, bagaimana dengan nasib Amba?2

Catatan kaki:
1Paragraf ini mengutip dari Novel yang berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak (Gramedia Pustaka Utama, 2012) halaman 124.
2Peran Dewi Amba dalam perang Bharatayuda sepintas pernah saya singgung di artikel “Mas No dan mBak Sri Akan Diperiksa KPPK“. Berikut kutipannya: Keesokan harinya, betapa terkejutnya Resi Bhisma melihat mBak Sri berhadapan dengannya. Di angkasa langit biru, Resi Bhisma menyaksikan sukma Dewi Amba masuk ke dalam raga mBak Sri. Oh iya, supaya pembaca tidak bingung, Resi Bhisma dulu pernah menyakiti hati Dewi Amba. Kini, saatnya Dewi Amba melunaskan sumpah untuk membunuh Resi Bhisma.