Mengapa Kartini menulis dalam bahasa Belanda?

Pak Pos mengetuk pintu pagar dan memberikan surat kepada saya, dan berkata “Surat dari Kartini!” Rupanya kilat khusus, maka saya teken tanda terimanya. Surat yang saya kirimkan ke Kartini beberapa hari yang lalu sudah mendapatkan respon darinya. Di dalam surat saya menulis: bisakah saya wawancara dengan Anda mengenai penggunaan bahasa Belanda dalam setiap penulisan Anda. Saya akan terbitkan wawancara ini dalam The Padeblogan.

Dalam surat balasannya, Kartini menjawab singkat: Saya tunggu di Pendapa Jepara.

~oOo~

Teh yang disajikan masih panas. Saya belum menyentuhnya. Saya masih gelisah menunggu Kartini keluar menuju pendapa.

Ia menyalami saya dengan hangat, “Apa kabar, Kyaine?”

“Alhamdulillah, sehat dan selalu bersemangat. Terima kasih loh sudah sudi membalas surat saya. Berkirim surat punya rasa komunikasi yang lebih menyentuh hati daripada melalui imel.”

“Apa itu imel, Kyaine?”

“Oh, maaf, Kartini. Imel jenis komunikasi seratus tahun yang akan datang.”

“Ya…ya… terus The Padeblogan itu apa? Surat kabar-kah?”

“Bukan… eh… boleh disebut sebagai buku harian namun semua orang bisa dan boleh membaca. Tapi… piye ya cara menjelaskan ke Kartini mengenai hal ini?”

Saya sok akrab dengan Kartini, wong ketemu langsung saja baru sekali. Bisa jadi karena nama Kartini sudah terpatri sejak saya duduk di bangku sekolah dasar. Ia biasa disapa dengan sebutan Ibu Kita Kartini.

Saya lihat Kartini tersenyum.

“Ya wis, sekarang apa yang ingin Kyaine ketahui tentang kepenulisan saya?”

“Begini, Kartini. Banyak orang yang menyesalkan kenapa Kartini menulis dalam bahasa Belanda. Bukankah saat ini bahasa Melayu sudah digunakan oleh surat-surat kabar seperti Retno Dhoemilah yang terbit di Yogya dan Bintang Hindia yang terbit di Nederland?”

Kartini mempersilakan saya minum teh. Saya pun menyeruputnya dan telah membasahi tenggorokan saya.

“Kyaine suka membaca tulisan-tulisan saya?”

“Betul, tapi sudah dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Maaf, nanti kami menyebutnya sebagai bahasa Indonesia meskipun akar sejatinya dari bahasa Melayu. Kelak, kira-kira tiga puluh tahun dari sekarang para pemuda mendeklarasikan bahwa bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan.”

“Perlu Kyaine ketahui saat ini di masa saya ini, sangat sedikit orang-orang Jawa di kalangan rakyat yang mengerti dan bicara Melayu1. Sedangkan tentang bahasa Jawa, kesulitannya justru di bidang lain yakni bahwa rakyat harus dipersiapkan dulu dengan pendidikan. Tidak mungkin serta merta membaca tulisan-tulisan yang belum dapat mereka kunyah.”

Kartini mengambil teko dan menuangkan teh ke cangkir saya.

“Jawaban atas pertanyaan Kyaine, karena saya memilih audensi atawa lingkungan pembaca tulisan-tulisan saya.”

“Sebentar, Kartini. Justru ini akan timbul pertanyaan berikutnya. Mengapa memilih audensi pembaca berbahasa Belanda?”

“Justru itu Kyaine, dengan sadar saya hendak memberikan arah baru pada kaum berbahasa Belanda, kaum intelektual – baik yang Pribumi atawa Belanda, harus lebih banyak mengerti rakyatnya, memahami, dan bagi kaum bangsawan Pribumi intelektual hendaknya tidak memandang rakyat itu melalui kacamata feodal, tetapi sebagaimana manusia biasa. Sedangkan bagi kaum intelektual Belanda, agar perhatiannya pada Pribumi mengubah pandangannya yang merugikan Pribumi itu sendiri.”

Saya semakin mengagumi perempuan Jepara yang brilian ini setelah membaca buku-nya Pak Pram, Panggil Aku Kartini Saja (PAKS)2.

“Bagaimana dengan rakyat jelata, Kartini?”

“Contoh-contohlah yang lebih penting, karena contoh-contoh bicara lebih terang dan gamblang daripada beribu kata-kata. Manifest kepengarangan saya yaitu kepengarangan adalah tugas sosial. Bahasa Belandalah bagi saya jalan yang tercepat untuk mencapai tujuan, karena dengan itu tulisan saya dapat sampai pada alamat yang tepat, melalui jarak yang singkat. Tujuan di sini adalah pembentukan kekuatan, persatuan dan perikatan.”

Sampai pada bahasan ini saya hanya mampu membisu. Buku PAKS masih terbuka di halaman 205. Di alenia paling bawah tertulis:

Manifes kepengarangan itu tidak lain daripada manifest kesadaran batinnya tentang kewajiban-kewajibannya terhadap rakyatnya, bangsanya, dan negerinya. Sastra harus takluk pada kepentingan ini. Sastra hanyalah alat. Dengan semangat itu Kartini menulis. Kalau semua prosa, puisi, serta surat-suratnya ditemukan semua, orang akan terheran-heran betapa hebatnya jumlah tulisannya.

Selamat Hari Kartini. Sekali-sekali jangan mengingatnya hanya pada urusan berkebaya belaka. Bangsa Indonesia harus bangga hati pernah mempunyai seorang Kartini.

Catatan kaki:
1Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 11 Oktober 1901
2Panggil Aku Kartini Saja diterbitkan oleh Lentera Dipantara, Juli 2003.