Membunuh rindu

kubunuh rindu di sudut ruang
tempat kita pernah mesra berbincang
yang kini tumbuh menjadi dendam
kau bakar cinta, kau tikam luka*)

Lelaki itu berdiri tegak di samping rel kereta api. Ia meneriakkan sebait puisi di atas kepada gelapnya malam. Lalu diam. Ia menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, berulang-ulang. Namun pelan saja. Kemudian, ia mengucapkan sebait puisi yang itu lagi.

Ia mundur selangkah ketika sayup-sayup didengarnya deru mesin kereta api dari arah kirinya. Bukan kereta api yang datang dari kiri yang ia tunggu. Tak lama kemudian, rangkaian kereta melaju di depannya. Dekat sekali. Badannya masih tegak berdiri, meskipun hempasan angin sangat keras menerpa tubuhnya. Rambut dan pakaiannya bergetar ke arah perginya kereta api.

Malam semakin larut. Ia masih setia menunggu kereta api ke arah Jakarta.

Dari kejauhan ia melihat pak tua petugas dari jawatan kereta api membawa lampu kecil. Ia sedang memeriksa rel kereta. Ketika melewati lelaki yang berdiri di pinggiran rel ia berhenti sejenak untuk menyapanya.

“Mau bunuh diri, mas?”

“Pak tua, jam berapa kereta  yang ke Jakarta?”

“Tiga belas menit lagi!”

Pak tua pembawa lampu kecil berlalu. Mungkin ia sudah sering menemui orang yang menyelesaikan masalah dengan cara menabrakkan diri kepada kereta api yang melaju kencang. Kenapa ia memilih kereta jurusan Jakarta, pikirnya. Ia masih mendengar teriakan lelaki itu membaca sebait puisi yang itu lagi.

Kereta dari arah kanan datang mendekatinya. Sebuah kereta menuju Jakarta.

Ini saatnya, bung!

Note: *) dari penggalan lagu karya Ebiet G. Ade