Melihat Istana Merdeka Dari Dalam

Istana Merdeka adalah nama terakhir yang diberikan untuk bangunan yang dirancang oleh arsitek Drossares dan dibangun antara 1873-1879. Nama itu mengacu pada pekikan merdeka yang mengiringi “pengambilalihan” istana itu dari pemerintah kolonial Belanda, 27 Desember 1949. Presiden Sukarno datang dari Yogyakarta untuk bersama-sama rakyatnya memekikkan kata ‘merdeka’.

Sebelumnya, Istana Merdeka memiliki sejumlah nama sesuai identitas yang dilekatkannya. Sebut saja, antara lain, Istana Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Istana Van Mook, Istana Saiko Syikikan, Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Istana Weltevreden, dan Istana Koningsplein. Sebelum bernama Istana Merdeka, nama istana itu adalah Istana Gambir.

Setelah diberi nama Istana Merdeka, nama itu menjadi penanda untuk sejumlah bangunan atau kawasan di sekitarnya. Lapangan luas yang sekarang dipagar tinggi dan rapat diberi nama Lapangan Medan Merdeka. Jalan yang melingkarinya diberi nama Jalan Medan Merdeka Selatan, Barat, Utara, dan Timur. Masjid yang kemudian dibangun didekatnya diberi nama Istiqlal yang artinya merdeka.

Saya tidak ingin membicarakan sejarah Istana Merdeka yang sangat penting dan karenanya banyak sekali literaturnya. Saya hanya ingin bercerita tentang tangkapan mata saya tentang Istana Merdeka. Tangkapan mata saya ini tidak penting sebenarnya karena Istana Merdeka sudah dibuka kembali untuk umum setiap Sabtu dan Minggu sejak Mei 2008. Istana merdeka saat ini, apa saja isinya?

Dari halaman depan, 16 anak tangga jumlahnya mengantar ke teras utama. Di 16 buah anak tangga itulah biasanya presiden dan anggota kabinetnya berfoto bersama usai pelantikannya. Di balik enam pilar besar, ada tiga pintu utama yang mengantar ke Ruang Kredensial. Ruang Kredensial merupakan tempat Pak Beye dan presiden sebelumnya menerima tamu-tamu negara.

Di langit-langit Ruang Kredensial tergantung tiga lampu kristal ukuran besar. Di dalam ruang ini terdapat empat cermin raksasa yang dengan logo Garuda Pancasila menggantikan logo kolonial Belanda. Vas bunga dan guci porselin menghiasi lantai Istana Merdeka yang dialasi karpet merah lantainya. Ada dua bendera Merah Putih ukuran besar mengapit lorongnya menuju Ruang Resepsi. Di antara dua bendera besar itu, tergantung lambang negara Garuda Pancasila dengan ukuran sangat besar dalam tangkapan mata saya.

Di kanan dan kiri lorong sepanjang sekitar 10 meter itu terdapat dua ruangan. Di sebelah timur adalah Ruang Raden Saleh, tempat menyimpan beberapa lukisan Raden Saleh Syarief Boestaman. Di sebelah barat adalah Ruang Jepara, berisi semua ukiran kayu jepara.

Saat Pak Beye bersama keluarganya masih tinggal di Istana Merdeka, Ruang Raden Saleh dipakai sebagai ruang sungkeman keluarga pada saat hari raya Idul Fitri. Di ruang ini, suasana haru keluarga besar Pak Beye terekam. Annisa Larasati Pohan, menangis ketika sungkem kepada bapak ibu-mertua, bapak-ibunya, serta suaminya, Agus Harimurti Yudhoyono. Orang terdekat Pak Beye, Pak Sudi Silalahi, ikut dalam rangkaian sungkumen keluarga penuh keharuan ini.

Sementara Ruang Jepara digunakan untuk menerima kunjungan dan silarutahmi Pak Kalla dan keluarga besarnya yang memang buaaanyak jumlahnya. Tentu saja, pembandingnya adalah keluarga Pak Beye yang tidak lebih dari separuhnya anggota keluarga Pak Kalla.

Di dinding lorong ini, tergantung empat lukisan klasik di atas kanvas yaitu Soedirman, Gajah Mada, Imam Bonjol, dan Diponegoro karya maestro seni lukis Indonesia. Di ujung lorong ini, dipajang patung dada proklamator Sukarno-Hatta dari perunggu berwarna gelap. Di antara sepasang patung dada proklamator itu diletakkan gunungan wayang jawa ukiran kayu jepara.

Ruang resepsi adalah ruang terbesar di Istana Merdeka. Acara jamuan makan kerap diselenggarakan di Ruang Resepsi ini. Pangeran Charles dari Inggris menggunakan Ruang Resepsi untuk memberikan kuliah kepresidenan. Ada penanda utama Ruang Resepsi. Dua lukisan besar karya Basoeki Abdoellah digantungkan berhadap-hadapan di tembok putihnya. Lukisan “Pergiwa-Pergiwati” yang diambil dari kisah Mahabharata digantungkan di sisi timur. Sementara di sisi barat digantungkan lukisan “Jaka Tarub” yang diambil dari legenda rakyat Jawa.

Berada di lorong ini dan di Ruang Resepsi kata banyak orang, merupakan sebuah kenikmatan luar biasa lantaran bisa menyaksikan karya seni tak ternilai harganya dari maestro indonesia yang terkoleski puluhan tahun lamanya. Kalau saya sih biasa saja, wong saya enggak paham betul apa hebatnya sebuah lukisan. Saya lebih tertarik kenapa banyak lukisan di Istana obyek utamanya adalah perempuan yang cuaaantik rupanya. He-he-he.

Salah satu ruang sakral di Istana Merdeka adalah Ruang Bendera Pusaka tempat disimpannya Bendera Pusaka yang dikibarkan pada hari pernyataan kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Ibu Fatmawati, ibu negara pertama Republik Indonesia adalah penjahitnya.

Keluar dari Ruang Resepsi, terdapat teras dengan enam kursi rotan empuk yang menanti diduduki untuk menikmati halaman luas dengan pohon-pohon ki hujan teduh berusia lebih dari 130 tahun dan hamparan rumput hijau di belakangnya. Dua lokasi putting green dan cerukan pasir putih untuk melatih kemahiran mengayunkan stik golf juga tersedia sejak akhir 2006.

Terasa nyaman memang berada di Istana Merdeka. Terlebih setelah kekhawatiran akan robohnya atap yang sudah tua hilang. Renovasi atap dilakukan pertengahan 2006, dengan biaya sekitar Rp 6 miliar. Sebuah anggaran yang istimewa jumlahnya tanpa pembukaan dan penawaran tender untuk kontraktor yang ditunjuk mengerjakannya. Departemen Pekerjaan Umum adalah penanggung jawabnya.

Senang melihat Istana Merdeka terawat baik dengan uang rakyat. Meskipun demikian, setiap rakyat, terutama yang beramai-ramai berteriak-teriak hendak mengadukan nasibnya, selalu disambut dengan duri-duri dari kawat.

Duri-duri dari kawat tampaknya ingin mencegah kekecewaan rakyat jika akhirnya berhasil merapat karena hampir di setiap unjuk rasa besar di depan Istana Merdeka, penghuni Istana sedang tidak ada di tempat.

3 Desember 2008

~oOo~

Presiden Republik Indonesia adalah orang paling penting atawa nomor satu di negeri ini. Setidaknya, sesuai pelat nomor sedan kepresidenan: RI 1. Oleh penulisnya, Wisnu Nugroho – wartawan Kompas, sisi tidak penting RI 1 yang kini saat ini dijabat oleh SBY dipaparkan dengan lugas, mengalir, dan apa adanya di buku Pak Beye dan Istananya. Buku setebal 256 halaman yang diterbitkan oleh Kompas (Juli, 2010) adalah buku pertama dari “Tetralogi Sisi Lain SBY”. Kenapa judul buku menggunakan sebutan Pak Beye? Di dalam Kata Pengantar buku ini ditulis, “Sebutan Pak Beye pertama kali muncul dari ujaran peladang penggarap miskin di Cikeas Udik bernama Pak Mayar” (hal x). Judul tulisan Melihat Istana Merdeka Dari Dalam bisa ditemukan di halaman 213 – 217. Kenapa saya memilih judul tersebut untuk postingan PustakaLoka minggu ini? Karena saya pernah dua kali memasuki salah satu ruang di Istana Kepresidenan (Desember 2004 dan Juni 2008), bertemu dan bersalaman dengan Pak Beye. Setidaknya keadaan Istana Merdeka yang diuraikan oleh penulis buku bisa sedikit terbayang di benak saya.