MEA 2015

Tanggal 1 Mei 2014 Mas Suryat sengaja bangun siang. Maklum, ini untuk pertama kalinya pemerintah menetapkan Hari Buruh Internasional sebagai libur nasional. Libur berarti tak masuk kantor, bisa berleha-leha di tengah minggu.

Mas Suryat menyeduh kopi hitam – ia belum bisa sepenuhnya melepas kopi dari hidupnya, membawanya ke teras sebagai teman membaca buku Takdir yang belum diselesaikannya. Buku itu mengenai riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey. 

Ia segera meletakkan buku yang diterbitkan oleh Kompas itu ketika ada seseorang yang menyapanya.

“Lagi nyante, Pak?” sapa Mas Sugeng, tetangganya yang berada dua blok dari rumahnya.

Inggih. Lah, Mas Sugeng kok malah olah-raga, nggak ikutan demo buruh?’ tanya Mas Suryat.

Beberapa tahun terakhir, Mas Sugeng sangat aktif melakukan demo buruh. Katanya ia menjadi pengurus salah satu serikat pekerja.

Mboten, Pak. Capek demo terus. Nanti siang kami mau ndangdutan saja di aula pabrik. Hari raya buruh ya mestinya untuk senang-senang saja, wong perusahaan memberikan semua fasilitasnya,” ujar Mas Sugeng sumringah. 

“Kalau pekerja di pabrik kolega saya, hari ini mereka melakukan muhasabah massal, menjauhi hingar-bingar demo atau sebangsanya,” kata Mas Suryat sambil menakar fikiran Mas Sugeng.

“Wah… boleh juga tuh idenya, Pak. Tapi apa yang melatarbelakangi mereka melakukan muhasabah massal?” tanya Mas Sugeng, penasaran.

“Gara-garanya, kran MEA yang akan dibuka awal tahun 2015 nanti!” Mas Suryat memberikan tekanan pada kalimatnya.

“MEA? Apa itu?” tanya Mas Sugeng.

Sesungguhnya Mas Suryat heran, kenapa aktifis buruh seperti Mas Sugeng nggak mengerti apa itu MEA. Bukankah beritanya sudah heboh dua tahun belakangan?

Lalu, Mas Suryat pun menjelaskan tentang MEA.

“Mas Sugeng, MEA adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berarti pasar tunggal ASEAN memungkinkan transportasi barang, modal, dan tenaga kerja di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara,” sampai di sini Mas Suryat mengambil jeda.

“Itu artinya apa? Ada kebebasan saling kirim barang, tanam modal dan ini yang akan berdampak kepada pekerja Indonesia, orang bebas bekerja di mana saja di kawasan Asia Tenggara!”

“Maksudnya, orang Thailand atau Vietnam boleh bebas bekerja di Indonesia?” tanya Mas Sugeng.

“Dan sebaliknya, Mas. Orang Indonesia bebas bekerja di negara Laos, Myanmar, Thailand dan sebagainya. Pokoknya negara ASEAN. Nah, siap ndak tenaga kerja kita bersaing dengan mereka? Kalau pekerja kita masih sibuk demo saja tetapi menghiraukan peningkatan kompetensinya ya bakal jadi pecundang. Bukan jadi pemenang!”  kata Mas Suryat berapi-api.

Mas Sugeng diam. Mungkin mencerna kata-kata Mas Suryat.

“Tahun 2015 sudah di depan mata, Pak,” tukas Mas Sugeng.

“Ya, betul. Supaya sampeyan tahu, sekarang perusahaan-perusahaan sudah pada melakukan evaluasi terhadap rantai usaha mereka, dari mana mereka akan memperoleh bahan baku dan di mana memproduksinya. Cilakanya…,” lagi-lagi Mas Suryat menjeda kalimatnya.

Mas Sugeng menatapnya dan bertanya, “Kenapa, Pak?”

“Berdasarkan survei Nielsen, negara seperti Malaysia, Singapura dan Indonesia akan berkembang sebagai pusat-pusat bisnis regional. Sedangkan Vietnam, Laos, Myanmar menjadi pusat-pusat manufaktur,” papar Mas Suryat sambil membetulkan letak kaca matanya.

Lalu melanjutkan kalimatnya, “Di sinilah cilakanya. Pusat manufaktur berarti banyak pabrik, dan itu tidak dicadangkan di Indonesia. Pabrik biasanya dapat menyerap tenaga kerja cukup banyak. Lalu akan dikemanakan para pengangguran di negeri ini? Satu-satunya jalan yang mesti merantau ke negara-negara yang disebutkan tadi. Pertanyaan berikutnya, sanggupkan tenaga kerja kita bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain?”

Mas Sugeng cuma mengangguk-anggukkan kepala saja.

Nekjika Indonesia menjadi pusat bisnis, berarti tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga profesional, bukan tenaga kasar atau tenaga kerja yang mengandalkan otot, tetapi otaknya,” tutur Mas Suryat.

“Saran Pak Suryat apa?” tanya Mas Sugeng.

“Bagi yang sudah bekerja di pabrik, bekerjalah baik-baik. Tingkatkan kompetensi, nggak perlu demo tetapi mengedepankan dialog dengan pengusaha. Kalau anak sampeyan sudah lulus SMA nanti, usahakan bisa kuliah dan pintar berhahasa Inggris. Ke depan persaingan sangat ketat,” saran Mas Suryat.

Matur nuwun sudah memberikan pencerahan, Pak. Nanti siang saya akan bicarakan dengan teman-teman saya. Sekarang saya pamit,” ujar Mas Sugeng kemudian melenggang menuju rumahnya.