mBah Kakung

Semalam saya bermimpi ketemu mBah Kakung yang sudah marhum sekian puluh tahun lalu. Kalau sudah begitu, nanti ketika saya ke Karanganyar mesti nyekar ke kuburnya. Jangan-jangan mBah Kakung sedang kangen putu.

mBah Kakung yang saya maksud bapak dari ibu saya, yang biasa dipanggil oleh orang sekitarnya dengan mBah Reso atau mBah Dhuwur, karena tinggi badannya. Ia adalah pensiunan polisi (entah apa pangkat terakhirnya). Saya tak pernah menangi ia menggunakan seragam polisinya, sebab sependek ingatan saya, waktu saya ‘mengenal’ mBah Kakung ia sudah pensiun dari dinas kepolisian.

Waktu kecil dulu, rumah mBah Kakung dan rumah ibu saya beda kampung sehingga kalau saya ingin main ke rumahnya, mesti menyeberangi sungai Siwaluh – sebuah sungai yang membelah Kota Karanganyar – dalam arti menyeberang yang sebenarnya, karena jembatan Siwaluh cukup jauh dari rumah saya.

Meskipun dengan menyeberangi sungai, seminggu sekali saya (dan adik-adik) main ke rumah mBah Kakung, sepulang sekolah. Nanti, ketika sampai di rumahnya saya menjumpai mBah Kakung sedang duduk di balai bambu di emperan rumah sambil membaca Majalah Bahasa Jawa Panjebar Semangat. Dan memang salah satu tujuan saya ke sana ya untuk nebeng baca majalah tersebut, yang biasanya masih hangat baru dikirim oleh loper koran.

mBah Kakung tak banyak bicara, jadi saya mesti sabar menunggu ia menyelesaikan bacaannya. Nanti, ketika ada Pak Gembuk – pedagang kue keliling – atau Budhe Semi yang jualan pecel mampir ke rumah mBah Kakung, saya dan adik-adik ditraktir oleh mBah Kakung.

Jika mBah Kakung tidak sedang duduk-duduk di balai bambu, kami akan mencarinya di warung mBah Todi. Nanti dari sana, kami diberi jajanan gatot goreng atau lentho untuk dibawa pulang.

***

Kegiatan lain mBah Kakung memanen cengkeh. Hanya tiga atau empat tanaman sih, yang ia tanam di halaman rumahnya. Hasil cengkeh yang tak seberapa itu, ia hamparkan di bawah terik matahari sampai kering. Saya tak ingat betul apakah cengkeh tersebut dijual atau dikonsumsi sendiri. O iya, mBah Kakung seorang perokok tingwe. Rokok yang dibikin secara swalayan.

Selain cengkeh, di halaman rumahnya tumbuh tanaman nangka yang cukup besar. Di ujung timur, tumbuh serumpun bambu yang kadang rebungnya dimasak oleh mBah Wedok. Iya, kami memanggilnya mBah Wedok bukan mBah Putri. Di kebun sebelah barat ada tanaman petai, lamtoro dan sirsak. Jika daun-daun tanaman tersebut berguguran mBah Kakung akan menyapu dan membuang sampahnya di pawuhan yang ia bikin di bawah pohon nangka.

Pakaian kebesaran mBah Kakung yakni kaos putih (cap Jupiter?) dan bersarung. Kalau sedang tidak bersarung ia pakai celana pendek warna hitam. Ia juga senang mendengarkan radio, sambil menikmati teh ginastel bikinan mBah Wedok dengan cangkir kaleng warna hijau ukuran jumbo (kadang diam-diam saya ikut nyruput dan berbau tembakau).

Itulah sepintas cerita saya tentang mBah Kakung.