Mati ketawa cara Niwatakawaca [2]

Lanjutan dari Bagian [1]

Supraba memutar otaknya. Ini kesempatan baginya membuat Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Ia menyapukan pandangan matanya, menelisik tanda-tanda keberadaan Arjuna. Akan sia-sia belaka ketika Niwatakawaca tertawa sementara Arjuna tidak ada di sana.

“Lekaslah mendongeng Cah Ayu!” raja Manikmantaka itu memberikan titahnya.

Supraba mendehem, menyetel posisi pita suaranya lalu berujar, “Orang bijak pernah mengatakan jangan menilai buku dari sampulnya, ungkapan ini untuk mengibaratkan kalau menilai seseorang jangan dari luarnya, harus mengenal bagian dalamnya: sifat dan wataknya”.

“Tapi bagaimana kalau buku itu dari judulnya saja tidak menarik, covernya biasa-biasa saja dan dibungkus plastik lagi, untuk sekedar mengintip daftar isinya saja susahnya setengah mati. Sementara komentar dari orang-orang terkenal, katanya buku itu sangat bagus isinya. Apa iya langsung percaya saja kata orang-orang itu lalu kita membeli bukunya?” tanya Niwatakawaca sangat serius. Ia sangat tertarik dengan topik yang ditawarkan Supraba.

“Baginda, untuk mengenal orang lain lebih dalam, mau tidak mau kita harus bergaul dan berkomunikasi dengannya. Kesan pertama yang cenderung negatif, tetapi begitu mengenal dekat ternyata ia merupakan teman yang sangat menyenangkan. Jadi, masih sesuaikah ungkapan jangan menilai buku dari sampulnya untuk menilai seseorang?” papar Supraba.

“Ya…ya… dengan mengobrol denganmu sore ini, aku pun ingin mengenalmu luar dalam, Nduk. Apakah dongenganmu ada kaitannya dengan hal itu?” kata Niwatakawaca sambil menyeruput teh hangatnya.

“Memang demikian, Baginda. Apa Baginda mengenal kisah Jaka Tarub dan Bidadari?” tanya Supraba.

Niwatakawaca menggelengkan kepalanya. Dan meminta Supraba meneruskan wicaranya.

Maka, Supraba pun memulai mendongeng.

Pada suatu hari, Jaka Tarub berburu di sekitar danau (yang ternyata danau itu merupakan tempat favorit para bidadari dari kahyangan mandi dan berenang ketika mereka kegerahan di kahyangan sana). Tanpa sengaja, Jaka Tarub memergoki tiga bidadari yang sedang meraung-raung menangis di pinggiran danau tanpa selembar pakaian di tubuh mereka. Jaka Tarub tidak berani mendekati mereka, ia hanya berani mengintip saja.

Dari teriakan-teriakan para bidadari itu, Jaka Tarub dapat menyimpulkan bahwa ketiga bidadari itu menangis karena mereka kehilangan seluruh pakaian mereka. Tak satu pun bisa lagi terbang ke kahyangan tanpa pakaian itu sehingga ditinggal pergi oleh teman-temannya yang lain. Jaka Tarub ingin membantu mereka, tapi tidak punya akal bagaimana membuat para bidadari itu kembali ke negeri kahyangan.

Jaka Tarub pun pulang untuk mengambil kain emaknya, ia ingin membawa ketiga bidadari itu ke rumahnya. Tidak lama, Jaka Tarub kembali lagi ke tepi danau. Tapi betapa ia terkejut, ketiga bidadari bertingkah seperti orang gila. Barangkali mereka depresi tidak bisa kembali ke kahyangan. Dalam hati, Jaka Tarub ingin membantu menyembuhkan depresi mereka.

Untuk mengenali mereka, Jaka Tarub memberikan nama kepada ketiganya Nawangati, Nawangsari dan Nawangwulan. Tiga bulan sudah Jaka Tarub berusaha menyembuhkan ketiga bidadari itu dari depresi.

Suatu hari, ia ingin mengetes apakah mereka benar-benar sudah sembuh. Dibawanya ketiga bidadari cantik tapi pada depresi itu ke kebon belakang rumahnya.

“Oke, sekarang kalian boleh bermain-main air sepuasnya di danau ini,” kata Jaka Tarub yang kemudian duduk di balai-balai. Nawangati dan Nawangsari bersorak gembira, mereka berdua bermain-main di kebon itu yang mereka kira sebuah danau. Mereka memanggil Nawangwulan, supaya ikut bergabung mandi bersama, tetapi Nawangwulan menggelengkan kepala dan malah sibuk memetik jambu yang kebetulan tumbuh di kebon itu.

“Berarti Nawangati dan Nawangsari belum sembuh dari depresinya, sementara si Nawangwulan sepertinya sudah sembuh. Buktinya ia tidak mau diajak mandi di danau khayalan mereka,” Jaka Tarub bereka-wicara.

Kemudian ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil minuman.

Begitu tiba di kebon lagi, Jaka Tarub tidak melihat ketiga bidadari yang menjadi anak asuhnya. Ia mencari ke sana ke mari, akhirnya bertemu dengan Nawangwulan yang membawa seutas tali.

“Nawangwulan, di mana adik-adikmu aku kok tidak melihat mereka?” tanya Jaka Tarub.

“Mereka aku jemur di samping rumah sana!” jawab Nawangwulan sambil menunjuk ke arah samping rumah.

Jawaban ini sontak membuat Jaka Tarub bergegas ke tempat jemuran yang dimaksud oleh Nawangwulan. Betapa kaget Jaka Tarub menyaksikan Nawangati dan Nawangsari tergantung di tali jemuran.

“Nawangwulan, kamu apakan mereka, kenapa mereka digantung seperti ini?!” bentak Jaka Tarub.

Dengan tenang Nawangwulan menjawab rasa penasaran Jaka Tarub.

“Kakang ini bagaimana, coba lihatlah kedua adikku. Mereka basah kuyup setelah mandi di danau tadi. Supaya cepat kering, aku jemur saja mereka!”

Lucu nggak sih??