Matematika itu (bisa) membuat gigimu patah

Sebagian orang menghindari soal-soal matematika. Padahal dalam kehidupan sehari-harinya tidak terlepas dari hitungan matematika, mulai dari berbelanja kebutuhan sehari-hari, gaji/upah, hitungan jam dan sebagainya.

Sementara dalam kegiatan ngeblog malah memusingkan diri bagaimana cara google menghitung page rank blognya atau kok bisa-bisanya alexa tidak merampingkan angkanya

Ya, matematika di sekitar kita sangat sederhana, hanya hitungan KALIBATAKU = kali, bagi, tambah dan kurang.

Salah siapa sih, kenapa sejak kita jadi murid sekolah dulu antipati terhadap matematika? Cerita di bawah ini mungkin bisa menjadi ilustrasinya.

Pak Diwan adalah seorang guru matematika. Kasihan benar ia, karena ia sudah kehabisan akal menghadapi murid-muridnya. Pak Diwan menganggap kalau otak murid-muridnya sudah demikian bebal untuk memahami pelajaran yang ia sampaikan selama ini. Hampir setiap hari ia menciptakan strategi yang baru, agar muridnya antusias dalam menyelesaikan soal-soal matematika yang ia buat untuk mereka.

Hari ini, seperti hari kemarin tidak ada seorang murid pun yang mampu mengerjakan soal matematika secara benar. Ia pun segera mengeluarkan jurus barunya.

Dari depan kelas, Pak Diwan berkata lantang, “Ayo anyak-anyak, siapa yang merasa bodoh dan nggak mampu mengerjaken soal, silaken berdiri!!”

Tidak ada seorang murid pun yang berdiri. Suasana kelas mendadak hening, sebagian murid menundukkan kepala karena ketakutan. Setelah ditunggu cukup lama, akhirnya salah seorang murid yang bernama Ryan VH berdiri.

“Kamu merasa bodoh, ya?” Pak Diwan bertanya kepada Ryan VH.

“Nggak, sih Pak. Saya hanya kasihan saja sama Bapak. Soalnya hanya Bapak saja yang berdiri!” jawab Ryan VH telak.

Gubrakzzz… Pak Diwan terjatuh, mukanya terkena ujung meja. Pingsan. Mulutnya berdarah.

~*0*~

Pak Diwan diangkut ke puskesmas dengan menggunakan ojek. Setelah diperiksa dengan teliti, ternyata tiga giginya patah. Setelah tersadar dari pingsannya, Pak Diwan membuka matanya.

“Mimang saya ada di mana nyih?” katanya pelan.

“Pak guru ada di puskesmas-ku.” jawab bu dokter yang pakai braces itu.

“Nekjika, sayanya dirawat di sini yang lama bisa nggak dok?” pinta Pak Diwan sangat memelas. 

Bu dokter menjawab permintaan Pak Diwan dengan berpuisi, “lagu air jatuh bukanlah lagu hujan turun di sebalik karang panjang, ada yang mengelupas serupa kulit kopi.”

“Kuwi opo to dok?” Pak Diwan kembali pingsan.