Masalah selera belaka

Untuk sementara, urusan ngeblog menjadi prioritas ketiga belas saya. Saat ini di dunia nyata saya sibuk betul pada urusan pekerjaan. Meskipun pekerjaan saya tak lepas dari bantuan internet dan komputer, tetapi untuk sekedar mbezoek blog kok nggak punya waktu. Posting terakhir, tanggal 3 Juli lalu. Belakangan, juga jarang-jarang posting artikel.

Hari ini terpaksa saya sisihkan waktu barang 30 menit untuk posting sekaligus klarifikasi kepada para kolega yang bertanya kenapa saya memilih Jokowi untuk pilpres mendatang. Hhh, urusan beda milih capres kok dibikin tegang to mas. Biasa aja kali.

***

Selepas shalat subuh saya berangkat kerja. Pagi hari saya ada rapat penting dan saya kudu datang pagi-pagi untuk mempersiapkan presentasi. Memang sudah menjadi adat kebiasaan saya, urusan pekerjaan ya harus dikerjakan di tempat kerja, bukan di rumah. Maka, tidak jadi apa kalau saya mesti berangkat pagi-pagi betul.

Kertas kerja yang bertumpuk di sebelah kiri saya, satu persatu saya baca. Datanya saya pindahkan ke power point. Baru mendapatkan dua lembar, datang kolega ke ruangan saya. Tak biasanya. Bahkan tak pernah masuk ruangan saya dan duduk di depan meja kerja saya,

Hhmm… pagi-pagi sudah dapat pasien nih, gumam saya. Tak apa. Saya geser laptop saya, supaya wajah saya ndak tertutup saat ngobrol dengannya. Apa yang kami obrolkan pagi-pagi seperti itu? Perkara capres!

Bukan obrolan tepatnya. Ia mencoba mencuci otak saya supaya memilih capres pilihannya. Data-data ia sajikan dan ia bertanya apakah saya percaya dengan daftar kelam masa lalu capres pilihannya. Saya menjawab, referensi saya hanya buku dan media massa. Semuanya memihak, tak ada yang netral.

Ia menyeret ke masalah akidah. Ia menyajikan data lagi kalau capres pilihan saya didukung oleh golongan orang yang ndak seiman dengan saya. Bla..bla..bla.. hingga saya kehilangan waktu untuk menyelesaikan bahan presentasi saya.

“Wahai kawan, jangan engkau bertanya alasanku memilih capres yang itu, sebab memilih presiden adalah masalah selera,” ujar saya menutup percakapan kami.

***

Pilpres kali ini memang sangat menggairahkan bangsa ini. Masing-masing orang tentu mempunyai alasan tersendiri kenapa menjagokan capres nomor 1 atau nomor 2. Sikap fanatik para pendukung capres memang ndak masuk akal.

Tapi itulah demokrasi.