Makna kematian a la Syekh Siti Jenar

Meeting point yang dijanjikan RM Ario Trengginas untuk Kyaine adalah di Rest Area KM 57 Tol Jakarta-Cikampek, dengan pertimbangan tempat ini mudah dijangkau dan cukup nyaman untuk diskusi ngalor-ngidul. Hidangan makan siang telah tersaji, segera saja RM Ario Trengginas dan Kyaine menikmati makanan yang mereka pesan.

TV yang menyala di atas meja kasir sedang menyiarkan berita tentang adanya bom di mana-mana. Sebetulnya bosan juga dengan sajian berita yang tidak menggembirakan dan menentramkan hati itu.

“Kyaine, tahu nggak kenapa orang yang bawa bom bisa lolos masuk markas pulisi dan meledakkannya di mesjid yang ada di dalam kompleks?”

“Lha mesti saja pengebom bebas melenggang masuk, wong petugas yang jaga di pos sedang sibuk SMS-an dan satunya sibuk nyanyi lagu india, je!”

“Xixixi… Tapi anehnya, bom yang disembunyikan di gorong-gorong pipa gas kok mudah sekali ditemukan ya?”

Embuh ah…!”

“Sampeyan kemarin baca tulisannya Ki Djoko Suud Sukahar nggak? Itu loh yang di detik dot com. Judulnya Jihad Ala Syekh Siti Jenar.”

“Baca, Denmas. Tapi ada beberapa bagian yang saya nggak paham dengan uraiannya. Terutama kematian pengantin bom yang disangkutpautkan dengan doktrin Syekh Lemah Abang itu. Menurut Denmas, pripun?”

“Justru itu aku ingin mendiskusikan dengan sampeyan, Kyaine. Ajaran Siti Jenar memang ajaran Islam Jawa yang kontroversial dengan ajaran Islam secara umum yang diikuti oleh umat Islam di dunia ini. Sampeyan sudah baca buku Syekh Siti Jenar-nya mas Achmad Chodjim?”

Sampun Denmas. Menurut saya, Siti Jenar bukan ingin merusak ajaran Islam, tetapi ia hanya ingin mengajarkan Islam yang diterima dengan baik di bumi Jawa. Ini yang menyebabkan pertentangannya dengan para Wali Sanga yang melakukan akulturasi Islam dengan Jawa, sementara Siti Jenar melakukan asimilasi Islam dengan Jawa, sehingga terbentuk Islam Jawa. Tapi Siti Jenar harus membayar dengan kematiannya di tangan Wali Sanga.”

“Menurut pandangan sampeyan, apakah ajaran Siti Jenar tetap hidup di kalangan masyarakat hingga sekarang, Kyaine?”

“Mungkin masih banyak nggih, Denmas. Islam Jawa menekankan ajaran pada budi pekerti. Mesjid-mesjid dibangun hanya untuk menunjukkan bahwa di daerah tersebut banyak pemeluk Islamnya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mesjidnya kosong melompong, tidak banyak yang mengunjunginya, kecuali pas shalat ied saja. Mereka umumnya juga tidak meributkan apakah sehari-harinya orang menjalankan syariat Islam atawa tidak. Tetapi yang jelas mereka tetap berpegangan pada Quran dan Hadist. Kalau Denmas memandang doktrin ajaran Syekh Siti Jenar, pripun?”

“Sampeyan tahu siapa itu Ki Pengging?”

“Kalau nggak ia salah satu murid Syekh Siti Jenar. Setelah kematian gurunya, ia yang melanjutkan ajaran Syekh Lemah Abang itu, Denmas.”

“Ada empat pertanyaan yang diajukan oleh Ki Pengging kepada Sunan Kudus mengenai jalan menempuh ajal atawa tempat kematian.”

“Apa saja, Denmas?”

“Satu, apa sebabnya kamu mengenakan hidup dan dari mana asal hidup atau dari apa hidup itu? Kedua, dalam hidup kamu perlu tidur, siapa yang mengajak tidur? Kemudian yang ketiga, apa sebab orang mati, dan dalam kematian ada apa? Dan keempatnya, apabila kamu telah mati, apakah kamu akan kembali menjadi bayi atau tetap tinggal di sana? Itulah empat pertanyaan Ki Pengging!”

“Wah… itu sih bukan pertanyaan Denmas, tapi teka-teki.”

Nekjika kita mengetahui jawaban atas teka-teki tersebut, maka orang tak akan takut dalam menempuh hidup ini. Tak gentar menghadapi maut, karena telah tahu cara menjemput maut.”

“Tapi tidak dengan cara bunuh diri, kan?”

Haiya, nggak dong. Bukankah bunuh diri itu tindakan pengecut?”

RM Ario Trengginas dan Kyaine sama-sama mumet dengan apa yang mereka bicarakan di meja makan itu. Dan itu malah memicu lahapnya makan siang mereka.