Lesmana wuyung

Rombongan Hastina pulang dengan perasaan malu dan kecewa. Upacara mantenan antara Lesmana Mandrakumara dengan Dewi Titisari gagal total. Wurung.

Sampai di istana Lesmana masuk ke kamarnya dan sampai dengan esoknya tidak mau keluar. Duryodana dan Banowati tak kuasa membujuk anak kesayangannya itu. Keadaan ini makin membuat sedih Banowati. Dalam keadaan kalut seperti itu Banowati memanggil Nyi mBlenek – seorang emban yang telah mengabdi di Hastina sejak Lesmana lahir dan ia yang mengasuhnya. Bahkan oleh Lesmana Nyi mBlenek itu sudah dianggap seperti ibunya sendiri.

Dan benar saja, ketika Nyi mBlenek bicara dengan Lesmana dari balik pintu kamar, Lesmana mau membuka pintu dan mempersilakan Nyi mBlenek masuk.

“Lesmana anakku, mbok tahu apa yang kamu rasakan. Sudah… sudah… jangan sedih lagi. Nanti mbok carikan gadis yang lebih cantik dan hatinya mulia dibandingkan Dewi Titisari. Sekarang kamu mandi dan makan dulu.”

“Tapi mbok….!!”

“Sudah…sudah… nanti kamu boleh curhat setelah mandi dan makan ya?”

Aneh. Lesmana bisa luluh dengan Nyi mBlenek. Lesmana segera mandi dan makan sangat lahap. Hal ini membuat Duryodana dan Banowati gembira. Keadaan sudah kembali normal. Begitukah?

Hari-hari berikutnya, Lesmana makin sering minta ditemani oleh mbok emban kesayangannya itu, tidak siang tidak malam dan Nyi mBlenek dengan sepenuh hati mengasihi anak asuhannya itu.

“mBok, tahu nggak. Aku masih berharap bisa kawin dengan Pregiwa, istri Gatotkaca itu. Hmm… dia wanita sempurna untukku kan mbok?”

Iyo..iyongger. Tapi kamu nggak boleh merebut Pregiwa dari suaminya. Kalau mencintainya sih, itu hakmu ngger! Masalahnya, Pregiwa jatuh cinta juga nggak padamu?”

Lesmana kembali dilanda sakit wuyung, jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Siang malam hanya nama Pregiwa yang ia sebut. Duryodana yang mendengar keadaan putranya itu kembali sedih, pun dengan Banowati.

Kalau kerinduan Lesmana kepada Pregiwa telah memuncak ia bagai orang gila. Dan saat yang seperti itu, Nyi mBlenek harus ada di sampingnya, karena Lesmana akan kehilangan semangat dan putus asa. Akal sehatnya sudah hilang, sirna pula kesadaran dirinya.

Jika sudah demikian, syair indah akan keluar dari bibirnya yang kering.

Wahai angin malam yang dingin sampaikan salam hangatku pada kekasihku Pregiwa! Tanyakan padanya apakah dia mau berjumpa denganku? Apakah dia juga memikirkan diriku? Aku terlunta-lunta, sengsara di padang pasir Kurusetra.
Wahai kesegaran pagi yang murni dan indah! Maukah engkau menyanyikan salam rinduku pada kekasihku. Belailah rambutnya yang hitam berkilau, untuk mengungkapkan dahaga cinta yang memenuhi hatiku.
Wahai angin, maukah engkau membawakan keharuman rambutnya padaku? Sebagai pelepas rindu. Sampaikan pada wanita yang memikat hatiku itu. Betapa pedih rasa hatiku jika tidak bisa bertemu dengannya, hingga tak kuat lagi aku menanggung beban kehidupan.
Aku merangkak melintasi sabana. Tubuh berbalut debu dan darah menetes. Air mataku pun telah kering, karena meratap dan merindukannya, siang malam.
Duhai semilir angin pagi, bisikkan dengan lembut salamku. Sampaikan padanya pesanku ini: Duhai Pregiwa, bibirmu yang ranum selaksa merah delima, mengandung madu dan memancarkan keharuman surga. Membahagiakan hati yang memandang. Biarkan semua itu menjadi milikku!
Hatiku telah dikuasai oleh pesona jiwamu. Kecantikanmu menusuk hatiku laksana anak panah, hingga sayap yang sudah patah ini tidak mungkin dapat terbang lagi. Berbagai bunga warna-warni menjadi layu dan mati karena cemburu pada kecantikan parasmu yang bersinar. Engkau laksana dewi malam gelimang cahaya. Surga pun akan tertarik untuk mencuri segala keindahan yang engkau miliki, karena engkau terlalu indah dan terlalu berharga untuk tinggal di bumi!
Duhai Pregiwa, dirimu selalu dalam pandangan. Siang selalu kupikirkan dan malam selalu menghiasi mimpi. Hanya untukmu seorang jiwaku rela menahan kesedihan dan kehancuran.
Jeritanku menembus cakrawala, memanggil namamu sebagai pengobat jiwa, penawar kalbu. Tahukah engkau, tahi lalat di wajahmu itu seperti sihir yang tidak bisa aku hindari. Ia menjadi sumber kebahagiaan yang telah memikatku untuk selalu mengenangmu.
Jiwaku telah tergadaikan oleh pesonamu yang memabukkan, jiwaku telah terbeli oleh gairah dan kebahagiaan cinta yang engkau berikan.
Dan demi rasa cintaku yang mendalam, aku rela berada di puncak salju yang dingin seorang diri, berteman lapar, menahan dahaga. Wahai kekasihku, biarkan pesonamu tetap abadi selamanya di hatiku.
[dari Kitab Layla Majnun, sedikit modifikasi]

Kalau sudah begitu, Nyi mBlenek cuma bisa geleng-geleng kepala.

Sebelumnya