Duryodana jingkrak-jingkrak gembira ketika Banowati mengabarkan kalau dirinya positif hamil. Lanang tenan, itulah predikat yang layak disandangkan kepada Duryodana yang saat itu baru dinobatkan sebagai raja muda Hastinapura yang kelak akan mewarisi tahta dari ayahnya. Dan, kabar kalau permaisurinya tengah mengandung calon jabang bayi, tentu saja ia bahagia bukan main. Duryodana bakal punya putra mahkota – dan ia sangat berharap anak yang lahir kelak adalah lelaki.
Duryodana makin sayang kepada Banowati, permaisuri yang jelita. Ia perintahkan kepada para dayang untuk melayani 24 jam kebutuhan Banowati. Kandungan Banowati kudu sehat. Ia harus melahirkan manusia berkualitas, karena ia akan menjadi calon raja negara yang super power seantero jagad perwayangan.
Banowati memanfaatkan kebaikan suaminya untuk merajuk jika ia menginginkan sesuatu hal, dan tanpa pikir panjang Duryodana mengabulkan keinginan istrinya. Kali ini – ini alasan yang bertama kali ia bikin – Banowati ingin menyegarkan pikiran di pesanggrahan di atas bukit yang tempatnya sangat sejuk dan tenang untuk tetirah. Duryodana tentu saja mengizinkan disertai permintaan maaf karena tak bisa mendampingi istrinya.
“Yes!!!” pekik Banowati, lirih.
~oOo~
Di pesanggarahan Arjuna gelisah menunggu kedatangan Banowati. Sudah hampir dua bulan ia tak berjumpa dengan kekasih hatinya. Dasar Arjuna, pesan yang ia bawa melalui orang kepercayaannya sampai juga ke tangan Banowati dan disepakati untuk bertemu-kencan di pesanggrahan.
Mereka pun melakukan olah-asmara seperti orang yang sangat kehausan di padang gersang. Edan. Cinta buta memang sering membuat gila orang yang melakoninya. Tapi, itulah cinta. Mereka tak bisa membedakan, cinta karena anugerah atawa cuma birahi semata? Embuh, ora urus.
“Say, perutmu agak gendut ya?” tanya Arjuna sambil mengelus perut Banowati.
“Iya. Di dalamnya ada anakmu!’ kata Banowati, kenes.
Mereka tertawa.
~oOo~
Saatnya Banowati melahirkan anak pertamanya. Sayang sekali, Duryodana tidak ada di sampingnya. Ia sedang melakukan titian muhibah ke negeri jiran. Ia sempat memperkirakan kalau anak pertamanya akan lahir setelah ia pulang dari acara kenegaraan itu. Rupanya si jabang bayi ingin segera melihat dunia.
Tangisan bayi memecah kesunyian istana keputren. Bidan istana yang membantu proses persalinan Banowati membawa bayi merah ke dekat wajah Banowati.
“Anak lanang, gusti permaisuri,” kata bidan istana, setengah berbisik.
“Syukurlah. Kakang Duryodana pasti akan sangat bahagia,” jawab Banowati.
“Wajah anak ini tampan sekali, gusti!” kata bidan istana lagi.
Banowati segera menatap wajah anaknya. Dan ia sangat terperanjat. Wajah anaknya mirip sekali dengan wajah Arjuna, kekasih gelapnya. Tak ada mirip-miripnya dengan Duryodana. Ia segera meminta bidan dan dayang-dayang lainnya untuk keluar kamar. Ia beralasan, ingin beristirahat.
Bingung. Linglung. Itulah yang berkecamuk di pikiran dan dada Banowati. Bagaimana reaksi Duryodana nanti ketika melihat bayi itu? Ia pasti akan tahu kalau bayi itu bukan dari benihnya. Dalam kekalutan seperti itu hadir Bethari Durga masuk ke dalam kamarnya.
“Bantu aku Bethari. Please… bla..bla…” sembah Banowati kepada Bathara berjenis kelamin perempuan itu.
“Oke, gampang saja. Tapi ada tumbalnya!” sahut Bethari Durga.
Kesepakatan diperoleh.
Simsalabim. Wajah bayi itu disulap menjadi sangat mirip dengan Duryodana. Banowati lega hatinya.
~oOo~
Maka, Duryodana melakukan acara sepasaran bayi sekaligus mengumumkan nama bayi lelaki itu: Lesmana Mandrakumara. Sebagai calon putra mahkota, Duryodana sangat mencintai Lesmana. Namun, dalam perkembangannya, Lesmana semakin berperilaku aneh, selalu kekanak-kanakan. Tidak pernah dewasa. Lesmana menderita keterbelakangan mental.
Itulah tumbal yang disepakati oleh Banowati dan Bethari Durga.
Note:
Untuk mendapatkan gambaran cerita tentang keluarga Duryodana dan Banowati silakan membaca artikel sebelumnya:
Duryodana Dikilik-kilik Dikileaks
Lesmana Wuyung
Perselingkuhan Abadi Banowati dan Arjuna