Lelaki penjual dongeng

Akulah lelaki penjual dongeng. Siapa yang ingin mendengar dongeng dari mulutku cukup membayarku dengan sepiring nasi dan lauk ala kadarnya. Aku mendongeng untuk mempertahankan hidup.

Dongeng yang aku ceritakan tidak sembarang dongeng, sebab aku tak ingin memberikan kisah yang sia-sia belaka. Ada nasihat dan hikmah terselip di dongeng-dongeng yang aku ceritakan.

***

“Wahai lelaki penjual dongeng. Dapatkah engkau ceritakan dongeng tentang tidak boleh iri dengan keberuntungan orang lain?” pinta saya kepada lelaki penjual dongeng, suatu ketika.

“Syahdan …,” lelaki penjual dongeng memulai kisahnya.

***

Ada seorang petani miskin yang sangat rajin merawat kebun miliknya yang luasnya tak seberapa itu. Hasil kebun sering tak mencukupi kebutuhan hariannya. Namun, ia selalu bersyukur dengan apa yang ia peroleh.

Terik matari membakar kulit legamnya. Gerah betul yang ia rasakan. Ia ingin mandi di sungai untuk menyegarkan tubuhnya. Maka ia menuju lubuk sungai yang agak dalam, ia ingin berendam barang sejenak.

Di dekat lubuk sungai tersebut ada pohon besar yang dihuni oleh sepasang jin yang mempunyai tiga anak. Siang itu anak-anak jin bermain-main di lubuk sungai. Tentu saja, keberadaan anak-anak jin tidak diketahui oleh petani miskin tersebut.

Anak-anak jin berhenti bermain ketika mereka melihat petani miskin mulai menceburkan diri di lubuk sungai. Anak jin yang paling besar menunjuk ke arah leher petani miskin.

“Hei lihatlah, orang itu membawa bola di lehernya. Ayo kita ambil!”

Maka ketiga anak jin segera menghampiri petani miskin dan mengambil benjolan yang ada di leher petani miskin. Benjolan itu tak lain adalah penyakit gondok yang diderita oleh petani miskin.

Anak-anak jin bersuka ria mendapatkan mainan baru.

Begitu mentas dari lubuk sungai, alangkah terkejutnya petani miskin itu ketika menyadari kalau gondoknya telah hilang. Ia senang bukan main.

Sore harinya ketika petani miskin pulang ke rumah ia berpapasan dengan temannya yang juga punya gondok. Temannya itu heran sebab tak melihat ada gondok lagi di leher petani miskin. Karena penasaran ia bertanya kepada petani miskin dan petani miskin menceritakan pengalamannya.

“Besok pagi aku akan berendam di lubuk sungai seperti yang engkau ceritakan kepadaku,” ujar teman petani miskin.

Sementara itu di pohon besar di tepian lubuk sungai, anak-anak jin sedang berkumpul dengan ibunya.

“Dari mana kalian mendapatkan mainan ini?” tanya ibu jin sambil memegangi benjolan gondok milik petani miskin.

“Kami mengambilnya dari orang yang mandi di lubuk sungai siang tadi,” jawab salah satu anak jin.

“Besok kalian kembalikan. Tak baik mengambil milik orang lain,” ibu jin memberi petuah.

Dan anak-anak jin patuh kepada petuah ibunya.

Keesokan harinya, ketika teman petani miskin mandi di lubuk sungai, anak-anak jin buru-buru mengembalikan benjolan gondok ke leher teman petani miskin.

Alangkah terkejutnya orang itu ketika menyadari kalau gondok di lehernya semakin membesar dua kali lipat bukannya hilang seperti milik petani miskin.

***

Lelaki penjual dongeng mengakhiri kisahnya. Tak lupa saya membayarnya dengan sepiring nasi gudeg lengkap dengan krecek dan lauk pauknya.

“Masing-masing orang punya keberuntungannya sendiri,” kata lelaki penjual dongeng kepada saya yang sejak tadi memerhatikan cara ia menikmati makan siangnya.

Saya menganggukkan kepala tanda sepakat dengan kata-katanya.