Lelaki kemproh

Di sebuah rumah makan, kami duduk lesehan. Lelaki paruh baya di hadapanku mengepulkan asap dari mulutnya. Sesekali ia menyruput kopi hitam yang hampir tandas. Tak henti bibirnya berkata-kata, yang orang lain susah untuk menghentikannya.

Mungkin tersebab perokok berat, bibirnya berwarna serupa kulit buah manggis. Kalau ia meringis akan nampak gigi-gigi hitamnya yang beberapa di antaranya sudah tanggal. Kerapatan antar giginya pun tak teratur lagi. Jika ia bicara, cipratan ludah bercampur jigong sesekali terlihat membasahi meja di depannya. Jangan tanya apa aroma bau mulutnya. Dalam jarak setengah meter, baunya menguar hingga ujung hidungku.

Makanan yang ia pesan tersaji sudah di hadapan kami. Masakan yang menggugah seleraku: nila cobek, cah kangkung hotplate, karedok, tahu-tempe goreng, nasi kebul-kebul, gurame bakar dan sambel-lalap. Khas masakan Sunda. Ia mempersilakan aku dan temanku segera menikmati makanan yang sudah ada di hadapan kami.

Dengan mengambil nafas dalam-dalam, aku segera mengambil nasi dan menyingkirkan nila cobek agar lebih dekat dengan piringku. Setenga piringku aku isi dengan kangkung, karedok, tempe, dan secuil gurame bakar. Kalian pasti menganggapku tamak dan rakus ya? Jangan salah, sengaja aku lakukan demikian untuk menghindari gerimis jigong yang keluar dari lelaki paruh baya kalau-kalau di tengah makan ia berbicara.

Dan benar saja dugaanku. Baru beberapa suap – lelaki paruh baya makan menggunakan jemarinya yang salah satu jarinya terpasang cincin berlian – ia sudah bicara banyak. Nasi muncrat dari mulutnya, jatuh ke piringnya dan sebagian melayang di meja dan satu-dua butir masuk ke piring karedok (untung, aku sudah mengambil karedok).

Ponsel lelaki paruh baya berbunyi. Ia rogoh saku bajunya – menggunakan tangan kanan yang belepotan nasi dan kuah cah kangkung – dan langsung ia pencet salah satu tombol ponselnya. Entah apa yang disampaikan oleh lawan bicaranya, sampai-sampai lelaki paruh baya ini tergelak hingga perut gendutnya terguncang-guncang. Aku lihat jidatnya mulai berkeringat hebat. Tanpa ragu, ia usap dengan lengan baju tangan kirinya.

Buru-buru aku dan temanku menghabiskan makanan kami. Lelaki paruh baya menutup ponselnya dan mengudap kepala ikan gurame. Ia menceritakan kelucuan pembicaraan dengan kawannya via ponsel tadi. Saat ia ketawa, aku lihat daging ikan dan serpihan kangkung bersemayam indah di sela-sela gigi hitamnya. Tak lama kemudian, ia selesaikan makan siangnya. Ia tarik beberapa lembar tisu untuk mengelap tangannya, kemudian ia menyalakan kreteknya.

“Jadi, kita sepakat dengan proyek ini kan?” kata lelaki paruh baya berambut ikal itu. Ia bersendawa hebat.

Kami mengangguk. “Siap, bos!!” Ya, kami memang memanggilnya dengan sebutan bos kepadanya. Tak hanya kami, tapi sebagian besar orang memanggilnya dengan sebutan BOS. Ia memang bos besar.

“Tunggu sebentar, uangnya sebentar lagi nyampe, kok!” ujarnya kemudian. “Tuh, orangnya sudah datang!” sambungnya.

Mata kami menoleh ke arah yang ditunjuknya. Seorang perempuan sangat cantik, bibirnya merah merona dengan anting kerlap-kerlip menghiasi kedua cuping telinganya menambah anggun penampilannya. Lelaki paruh baya menyambutnya dengan cipika-cipiki. Perempuan yang senyumnya bisa membuat dunia semakin indah itu duduk di sebelah lelaki paruh baya.

“Kenalkan, ini istriku. Sayang, tolong uangnya mana?” tukas lelaki paruh baya kepada perempuan cantik yang ternyata istrinya itu.