Lebaran berdasarkan Pancasila

Ketuhanan yang Maha Esa. Puasa masuk hari ke duapuluh tiga. Urusan Tuhan agak sedikit terabaikan. Sepuluh hari terakhir yang seharusnya untuk bermesra-mesraan dengan Sang Khalik, konsentrasi ibadah mulai buyar. Tuhan menjadi nomor sekian, sehingga puasa hanya  medapatkan haus dan lapar belaka. Pikiran sudah disibukkan dengan urusan lebaran,  berbelanja: baju baru, beraneka macam kue/makanan, bingkisan dan lain-lain. Bagi para perantau, persiapan yang tak kalah penting adalah perkara pulang kampung atawa mudik. Ritual lainnya: berburu tiket dan tukar uang yang masih licin.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Macet di mana-mana. Pasar disesaki pembeli. Mal dan pusat perbelanjaan memancarkan pesonanya sendiri: diskon gede-gedean. Berkah ramadhan dari segi ekonomi, hampir tak ada warung yang sepi. Apapun yang dijualnya pasti ada pembelinya. Peluit tukang parkir tak henti berbunyi. Pengemis ada di setiap sudut jalan.

Nun, ada orang kaya yang membagikan sedekahnya: sembako plus uang lima ribu rupiah. Para dhuafa menyabung nyawa untuk mendapatkannya. Ealah, pak haji… pak haji.

Persatuan Indonesia. Tengoklah jalan pantura. 24 jam dipenuhi oleh kendaraan pemudik. Bersatu padu dalam kemacetan parah. Perjalanan normal ke kampung halaman ditempuh 10 jam, saat musim mudik molor menjadi 24 jam, bahkan lebih. Panasnya mentari menyulut emosi. Saling serobot untuk mendahului yang lain. Sumpah serapah kadang muncul dari mulut mereka. O, puasa yang mereka jalani seakan tiada bekasnya. Bukankah puasa untuk menahan hawa nafsu, bersabar dan tenggang rasa?

Tengoklah stasiun kereta api. Mereka saling sikut untuk masuk ke gerbong kereta, memburu kursi. Berdiri di toilet tidak mengapa, yang penting terangkut kereta hingga ke kampung halaman mereka.

Wahai, kampung nan jauh di mata. Kami pulang membawa kekayaan.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kalender dan almanak nasional tahun 2011 yang disusun berdasarkan SKB 3 Menteri tahun sebelumnya menjadi rujukan rakyat Indonesia: tanggal 30 dan 31 Agustus ditandai dengan warna merah, karena ditetapkan sebagai libur Hari Raya Idul Fitri (1 – 2 Syawal 1432 H). Instansi pemerintah dan swasta menetapkan libur bagi karyawannya berdasarkan keputusan pemerintah tersebut.

Hasil sidang isbat yang digelar Kemenag RI memilih 31 Agustus 2011 sebagai 1 Syawal 1432 H. Horee, Indonesia mempunyai dua lebaran!

Di beberapa wilayah ada ironi, lapangan milik pemerintah daerah tidak diperbolehkan untuk dipakai shalat ied tanggal 30 Agustus 2011, karena akan digunakan shalat ied pada hari berikutnya. Sebagian umat bimbang, tapi tidak sampai gontok-gontokan. Lebaran tahun ini, tetap aman terkendali.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pintu rumah dibuka lebar-lebar. Aneka makanan tersaji di meja tamu. Saling silaturahim menjadi agenda utama dalam ritual lebaran. Saling maaf-memaafkan. Perbedaan penetapan 1 Syawal menjadi guyonan di sela-sela pembicaraan. Anak-anak bergembira mengenakan baju barunya. Apalagi mendapatkan uang licin dari tante, om, pakdhe, budhe atawa kakek-neneknya.

Mereka anak-anak yang kaya. Bukan hartanya, tetapi berlimpah kasih sayang dan doa restu dari pini sepuh-nya.