Lalu ke Bromo dan Malang lagi

Setelah istirahat beberapa jam dari perjalanan ke Bumi Kartini, kami berangkat ke Malang. Kali ini Kyai Garuda Seta menginap di Stasiun Solo-Balapan, perjalanan ke Malang kami tempuh dengan menggunakan kereta api. Syahdan, dengan ambrolnya Jembatan Comal saya perkirakan perjalanan balik ke Karawang nanti berasa berat, maka saya memutuskan perjalanan ke Malang menggunakan kereta api saja agar stamina saya sebagai driver tetap prima. Dua hari menjelang mudik, saya berburu tiket kereta api dan alhamdulillah mendapatkan tiket Solo-Malang PP dengan kereta Gajayana Edisi Lebaran.

Sabtu dini hari kami sudah stand by di stasiun. Ternyata Gajayana Edisi Lebaran tiba di Solo-Balapan molor dua jam! Tiba di Malang hampir jam 2 siang.

Pak Hari yang menjemput kami bercerita kalau sudah menunggu sejak pagi – maklum, takut mengecewakan tamu katanya. Kami diantar menuju hotel di bilangan Jl. Letjend. Sutoyo tempat kami menginap 2 malam, untuk bersih-bersih sebelum menuju destinasi berikutnya.

Ini merupakan kunjungan kedua kami ke kota Malang. Setelah mandi, kami berangkat ke Kota Batu Malang untuk mengunjungi Museum Angkut yang terletak bersebelahan dengan lokasi Jatim Park 1. Museum Angkut ramai betul pengunjungnya, sangat kontras dengan kunjungan di Museum Kartini kemarin yang sangat sepi. Brilian sangat orang yang berada di balik pembangunan museum ini. Alat angkut apa pun dapat ditemukan di museum ini: dari yang tradisional hingga modern. Tak cukup waktu dua jam untuk mengelilingi dan menikmati koleksi Museum Angkut hingga keluar melalui Pasar Apung.

Di Museum Angkut dapat kita temui mobil listrik Tucuxi yang pernah dikendarai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan dalam kondisi ringsek setelah menabrak tebing di Tawangmangu-Magetan dalam perjalanan dari Kota Solo pada jalan yang menurun, pada tanggal 5 Januari 2013 yang lalu. Mobil seharga 3 milyar itu menjadi salah satu koleksi Museum Angkut yang dapat kita sentuh.

***

Minggu dini hari Pak Hari menjemput kami untuk perjalanan ke Bromo. Sepanjang perjalanan Malang-Bromo saya tidur, tahu-tahu sudah sampai di Cemoro Lawang untuk mengganti kendaraan dengan jeep Toyota Hardtop menuju Penanjakan untuk melihat sunrise. Karena masuk periode peak season, wisatawan yang berkunjung ke Bromo banyak betul. Setelah tiba di Penanjakan, kami mencari posisi wuenak uhtuk menikmati keindahan panorama sunrise. Semua orang menunggu detik-detik munculnya semburat warna merah matari.

Jeep kemudian mengantarkan kami ke parkir di lautan pasir di bawah Gunung Bromo. Dari tempat ini kami naik kuda menuju kaki tangga yang digunakan untuk melihat bibir Kawah Bromo. Perjalanan jeep selanjutnya membawa kami ke Bukit Savanna atau dikenal dengan taman Teletubbies, dan selanjutnya ke Pasir berbisik sebelum kembali ke terminal Cemoro Lawang.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, lagi-lagi saya terlelap. Pak Hari mengendarai mobil ditemani dengkuran saya.

***

Setelah beberes dan mandi, Pak Hari membawa kami ke Coban Rondo, sebuah obyek wisata air terjun yang terletak + 24 km dari Kota Malang. Air Terjun Coban Rondo ini menyimpan legenda unik, kapan-kapan saya kisahkan dongengnya. Dari Coban Rondo, kami masih mempunyai waktu untuk memetik buah apel di perkebunan apel di sekitaran Selecta Malang.

***

Senin, setelah check out hotel, Pak Hari mengantar kami ke Candi Jago. Sayang sekali, di lokasi Candi Jago tak ada keterangan sedikit pun mengenai candi ini. Saya membaca sebuah referensi: berdasarkan Kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah keagungan, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.

Siang itu, kunjungan para peziarah Masjid Tiban sangat padat. Saya yang memasuki bangunan bertingkat sepuluh memaklumi kalau orang-orang menyebutnya sebagai Masjid Tiban, masjid yang tiba-tiba muncul. Mirip dongeng Bandung Bondowoso membuat seribu candi dalam waktu semalam saja.

Dikutip dari islam-institute.com: Masjid Tiban atau Masjid Jin juga disebut Masjid Turen sebenarnya merupakan sebuah komplek pondok pesantren. Nama Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah adalah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah (disingkat: Bi Ba’a Fadlrah), yang terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Gang Anggur No.10, RT 07 / RW 06 Desa Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang. Rintisan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah ini dimulai pada 1963 oleh Romo Kyai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kyai Ahmad.

Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitektur bangunannya sangat menawan, sangat serius dan rumit. Semua ini terlihat pada setiap detail ornamennya. Jauh sebelum ini benar-benar tak ada yang menyangka di sebuah desa kecil Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang berdiri sebuah bangunan megah dengan arsitektur yang sedemikian mengagumkan. Begitu datang di areal masjid Tiban, pengunjung akan disambut oleh kemegahan bangunan, keindahannya dan wibawanya akan mampu melumpuhkan kesombongan kita. Dari melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok pesantren dan masjid Tiban, sampai keluar, kesombongan siapa saja akan mengkerut, dari tingkat pertama sampai dengan tingkatnya yang ke sepuluh.

***

Kereta Gajayana Edisi Lebaran berangkat dari Stasiun Malang jam 16.00 WIB membawa kami ke kembali ke Solo.