Lagi musim dendam kesumat

Wajah Duryodana muram ketika menyaksikan Karna – sabahat terbaiknya, gugur di medan perang di tangan Arjuna. Di hati kecilnya ia ingin melunaskan dendam kesumatnya kepada Pandawa. Ia segera mengambil senjata andalannya, lalu bersiap menggempur pasukan Pandawa.

Prof. Kripa yang berada dekat dengan Duryodana segera menarik tangan Duryodana dan mengatakan agar ia mengurungkan niat menyerang Pandawa.

“Mas Dur jangan emosi. Tahan. Lihat, berapa banyak sahabat dan sodara kita yang membela Kurawa telah berguguran di medan laga Kurusetra. Mereka telah mempertaruhkan hidup dan kehormatannya demi Mas Dur. Terakhir Adipati Karna yang dengan gagah berani membelamu. Mereka sekarang telah bahagia di alam nirwana sana. Kini, berdamailah dengan sodaramu Pandawa. Cukup, perang dihentikan sekarang juga,” Prof. Kripa mencoba memberikan nasihat kepada Duryodana.

Nggak bisa Prof. Perang harus dilanjutkan. Kalau mau berdamai dengan Pandawa bisa saja aku lakukan ketika sebelum pecah perang dulu. Kini, perdamaian macam apa yang bisa kita usahakan untuk menyatukan wangsa Kurawa dan Pandawa?” kata Duryodana.

“Tapi…, “ sela Prof. Kripa.

Wis ora. Nggak pakai tapi-tapian. Prof, lapangan Kurusetra telah ditumpahi darah sodara-sodara yang kita sayangi. Aku tidak mau menyerah kalah supaya tetap hidup. Tidak. Kalau itu aku lakukan apa kata dunia?” Duryodana mengakhiri kalimatnya dengan mengangkat bahunya.

Mau tidak mau Prof. Kripa tersenyum.

“Ya sudah, kalau itu keputusan Mas Dur. Kami akan mendukung sepenuhnya,” kata Prof. Kripa selanjutnya.

“Coba sampeyan fikir Prof. Kebahagiaan macam apa yang dapat kita rasakan dalam hidup yang hina seperti itu, setelah kematian sodara-sodara kita?” tukas Duryodana masih berapi-api.

Pasukan Kurawa bersorak membahana ketika mendengar pernyataan Duryodana tersebut.

Situasi di Negara Hastina saat itu jauh berbeda dengan Negara Tunisia atawa Mesir, di mana gerakan rakyat berhasil menurunkan pemimpin tertingginya. Hastina akan segera runtuh karena adanya perang saudara, Kurawa dan Pandawa.

Secepatnya dilakukan sidang yang dihadiri petinggi Hastina. Agenda sidang hanya satu yaitu menetapkan siapa senopati yang akan memimpin pasukan Kurawa. Secara aklamasi mereka menetapkan Letnan Jenderal Salya sebagai mahasenopatinya. Kecakapan  Letjen Salya sudah teruji di perang-perang sebelumnya, termasuk ketika ia mendampingi Adipati Karna bertempur melawan Arjuna.

Penunjukan Letjen Salya tak pelak telah mengejutkan pihak Pandawa. Tak tanggung-tanggung, Yudhistira mengangkat dirinya sebagai senopati Pandawa. Banyak pihak yang tidak percaya, Yudhistira yang terkenal berwatak lemah lembut memimpin sebuah perang besar. Tidak hanya Kurawa saja yang keheranan dengan keputusan Yudhistira, tetapi juga di pihak Pandawa sendiri.

Lalu, perang dimulai. Dua pasukan bertempur. Semua strategi perang dijalankan oleh kedua belah pihak. Seimbang, sampai matahari tepat di ubun-ubun kepala.

Syahdan, ketika pasukan sibuk dengan pertempuran masing-masing terjadilah perang tanding antara Letjen Salya dan Yudhistira. Salya yang perkasa melawan Yudhistira yang sedikit gemulai. Saat Salya lengah, Yudhistira melontarkan tombaknya, dan menancap di dada Salya. Sang maut menjemput ajal Salya, ia gugur sebagai pahlawan Kurawa.

Kurawa berduka. Duryodana segera mengambil alih memimpin pasukan. Dengan perkasa ia menggempur pasukan Pandawa. Di pinggir padang Kurusetra terlihat Bima yang tidak sabar ingin segera masuk arena perang. Tanpa izin dari Yudhistira, ia menerabas ke dalam pasukan Kurawa. Kocar-kacir. Bima mengamuk seperti banteng ketaton, banteng yang terluka.

Ia ingat sumpahnya ketika Duryodana mempermalukan Drupadi tiga belas tahun lalu. Kini saatnya ia membayar sumpahnya.

“Aku ingin segera menuntaskan dendam yang terpendam selama tiga belas tahun. Mana Duryodana…. mana dia… aku ingin mengulitinya,” teriakan Bima menggetarkan dada semua orang yang mendengarkannya.

Belum tancep kayon. Aksi balas dendam masih akan berlangsung.

~oOo~

Ki dalang yang memainkan wayang pun hatinya bergetar. Pelunasan dendam kesumat ternyata tidak di dunia WayangSlenco saja, tetapi juga terjadi di dunia nyata. Dendam tidak menyelesaikan masalah, malah menyebabkan situasi makin bertambah runyam.