Kyai Sanca Wangsit

“7,77 X 7,77.”

Aku melongo.

Ia mengulangi ucapannya, “7,77 X 7,77.”

“Masa, Pak, itu…angka yang benar?”

Ia mengangguk yakin, seolah bangga. “Tentu, berdasarkan anu, anu, dan anu, maka diputuskan ukurannya itu 7,77 X 7,77, dan,” ia menatapku seolah menaksir, “sebagai pelaksana, saudara tidak boleh menambahi atau menguranginya, harus pas.”

“Tunggu, tunggu, sebenarnya yang pertama kali mengusulkan angka-angka ini siapa?”

Ia tak menjawab. “Pokoknya 7,77, titik.”

Ia kemudian berlalu.

Kutatap dari belakang sosok yang semakin menjauh itu. Pak Suro. Sebenarnya aku tak harus bertanya seperti tadi, sebab kalau sudah menyangkut dengan Pak Suro kang dadi Kepala Desa, pasti di atasnya ada sosok seorang kyai, kyai dengan gelar tak tanggung-tanggung : Kyai Sanca Wangsit.

Huhhh, aku menghela nafas, bukan permulaan yang baik.

~oOo~

Nama aslinya Kyai Umar. Beliau adalah keturunan kyai anu dan kyai anu ini keturunan kyai anu, begitu seterusnya yang konon nasab-nya terus bersambung ke sosok paling mulia yang syafaatnya dinanti-nanti di akhir zaman kelak, Nabi Muhammad SAW. Setidaknya itulah yang pernah kudengar dari mulut ke mulut, dan entah mulut milik siapa yang ada di urutan pertama, barangkali mulut beliau sendiri? Sayangnya pula aku tak tahu apakah di ruang tamu rumah beliau ada kertas seukuran poster yang menggambarkan urut-urutan keturunan semacam bahwa bapaknya anu adalah anu dan anu-anu selanjutnya. Dan aku tak merasa harus mencari tahu.

Lantas kenapa beliau disebut Kyai Sanca Wangsit? Ternyata sederhana saja jawabnya, karena beliau memiliki kemampuan magic. Kalau begitu beliau seorang magician? Huss, kualat, kau. Bukan, bukan seperti David Copperfield yang mampu melenyapkan patung liberty di depan mata-mata rasional khalayak Amerika (walaupun konon Mr. David ini berlatih diam-diam memindahkan nisan-nisan di pemakaman New York, dan konon pula ketika ia mencoba mengembalikan nisan-nisan ke tempatnya semula nisan-nisan itu banyak yang ketukar), ataupun mbah Jambrong yang dengan fantastisnya mampu memindahkan rambut dan jarum-jarum berkarat ke dalam lambung manusia, itu mah sihir atuh, tapi beliau punya Aji Penerawangan, itu isim alam yang berlaku di dunia non–realistis untuk menyebut kemampuan untuk mengetahui hal-hal ghaib apakah dalam jangka waktu beberapa windu ke depan Pak Tata akan buta sehingga ia jauh-jauh hari harus memakan wortel misalnya, untuk antisipasi. Dan karena yang ingin diketahui adalah hal ghaib maka perantaranya harus ghaib pula. Dan entah kenapa ke-ghaib-an itu diberi nama wangsit.

Entah apa pula pengertian wangsit itu, dalam beberapa tahun kuliahku rasanya aku tak pernah menemukan term itu. Aku juga tak mempunyai kesempatan untuk melihatnya di Kamus Besar Bahasa Indonesia sebab edisis asli terlalu mahal untuk dibeli, otomatis aku membeli edisi bajakannya 90.000 perak, dan nyentriknya, halamannya, entah diformat apa, setiap halaman yang ganjil kosong tak mengandung satu huruf pun. Mau kukembalikan ke toko tempat aku membelinya, penjaga toko itu sudah dengan lincahnya mengantisipasi memasang tulisan tangan jelek di atas kertas karton lusuh : BARANG YANG SUDAH DIBELI TIDAK BISA DIKEMBALIKAN. Karena itu aku ber-husnuzhan barangkali saja sang pencetak seorang pecinta bahasa, ia memberi kesempatan untuk pemiliknya jika ingin menambahi dengan kosakata yang baru. Bukankah itu suatu upaya mengembangkan bahasa yang harus dimiliki oleh seluruh putra bangsa? Sayangnya lagi, untuk term wangsit, itu terletak—dugaan saja—pada halaman ganjil. Jadi, ya, itulah tadi, aku sendiri tak tahu apa pengertiannya, hanya saja untuk Kyai Umar ini dengan kreatifnya khairu kreatif, beliau memaknai wangsit dengan datangnya ular sanca yang memakan sejumlah kambing dalam mimpi di malam jum’at, baik itu kliwon ataupun non-kliwon. Dan sejumlah kambing ini kemudian menelurkan penafsiran-penafsiran yang nyleneh, misalnya tentang Pak Tata tadi, karena dalam mimpi ular sancanya memakan 20 kambing maka ditafsiri ia harus makan 20 wortel setiap hari. Diam-diam aku menduga barangkali penjual wortel di pasar senen itu relasi beliau juga, dan diam-diam pula aku khawatir jika suatu saat telinga Pak Tata membesar seperti kelinc…oops, kata mbok-ku jangan mendo’akan hal yang buruk-buruk.

Dan kali ini, 7,77 m aku bisa menebak tanpa harus menggunakan pipa dan kaca pembesarnya Sherlock Holmes, 7 yang pertama adalah 7 ekor kambing. Sedangkan 77 di belakang koma? Sampai habis berbatang-batang, baik dalam makna asli menunjuk pada Marlboro mix kesukaanku ataupun suara Bung Fals yang Iwan itu selesai diputar Tape Recorder, jawaban belum datang.

Tujuh koma tujuh puluh tujuh, dalam pengucapan, bilangan itu memang manis, super manis bahkan, tapi ini? Kutatap tumpukan batu bata yang menumpuk di sebelah selatan. Pasir, semen, dan tetek bengek lainnya, sampai molen pengaduk semen yang harganya berjuta-juta. Ini pembangunan musholla, bukan main-main. Musholla untuk bersama, yang didanai bersama pula walaupun tentu saja nominal masing-masing berbeda. Pak Bakri, juragan kopi itu tentu menyumbang lebih banyak dari mang Kosim yang kuli pasar senen. Pak Haji Engkon, yang mempunyai rumah paling besar plus paling indah di daerah sini jelas menyumbang lebih banyak daripada Pak Kyai Sanca Wangsit, ooops, Pak Kyai Umar, yang hanya menyumbang…tujuh koma tujuh puluh tujuh. Emangnya ini togel atau SDSB-nya Orba?

Esok harinya ternyata ada kabar yang lebih heboh, aku mendengarnya dari mang Kasmid, Sang Penembok.

“Gila benar proyek ini” begitu awalnya.

Penasaran aku bertanya. “Gila gimana Mang?”

“Kita cuma diberi waktu 77 hari lebih 7 jam tidak kurang tidak lebih untuk menyelesaikannya.”

Aku termenung, lagi-lagi angka 7. Siapa pula yang menetapkan waktu itu tanpa melalui aku yang menjadi perwakilan utama perusahaan pemborong pembangunan Musholla ini?

77 hari, hal yang mustahil. Aku sendiri bisa menghitung, dengan jumlah pekerja segini kali jam kerja, dan besarnya proyek yang digarap, ah, setengah proyek pun tak akan berhasil dalam waktu sresempit itu.

Ku geleng-gelengkan kepalaku. Tak habis pikir.

~oOo~

Pondasi baru terbentuk, aku sedang berkeliling melihat-lihat, senin siang ketika itu.

Sedan merah berhenti di pinggir lokasi. Aku acuh saja kalau tidak melihat pak Suro yang memang sering melihat-lihat lokasi ini berlagak menjadi mandor tergesa-gesa menghampiri mobil itu dan merunduk-runduk di samping pintu mobil.

Aku sampai terheran –heran, presiden kah gerangan yang datang?

Klap, pintu mobil terbuka, sesosok tubuh setengah tua, kepala dililit serban, tubuh bergamis putih melangkah turun. Pak Suro langsung merunduk menyalami dan mencium tangannya.

Kulihat sosok itu menanyakan sesuatu, dan masih dengan merunduk-runduk, pak Suro menunjuk ke arahku dengan jempolnya. Jempol tangan tentu saja.

Aku tetap berdiri ketika sosok itu, diikuti pak Suro menghampiriku. Di hadapanku ia berhenti, seolah menunggu aku menyalami, bersikap seperti pak Suro tadi. Di belakangnya pak Suro susah payah sampai melotot-lotot memberi isyarat padaku dengan tangannya. Entah apa maksudnya aku malas menafsirkan.

Jika kemudian aku menyalami-tanpa merunduk dan cium tangan-maka itu karena aku merasa tak enak berdiri berhadap-hadapan seperti orang-orang dalam cerita zaman dulu hendak mengadu kesaktian.

“Bagaimana, kira-kira selesai 77 hari?”

Tujuh puluh tujuh lagi, tanpa sadar aku mendengus.

“Ini membuat bangunan, Pak, bukan membuat tempe,” entah kenapa kata-kata itu tiba-tiba terlonat dari bibirku, tampaknya didorong oleh rasa berang yang tiba-tiba muncul.

Ia tampak kaget. Apalagi pak Suro. Dalam pandanganku ia seolah akan tiarap dan menutup ked ua telingannya.

Sosok di depanku tidak berkata apa-apa. Lama ia menatapku, kemudian, ”Bencana!!!” Hanya itu ucapnya. Ia berbalik, diiringi pak Suro yang tampak ketakutan.

Barangkali ucapan sosok itu, sosok Kyai Sanca Wangsit, memang saciduh metu saucap nyata, buktinya? Besoknya aku tertimpa bencana. Sepele saja, aku dipindahkan dari proyek Musholla tujuh kali tujuh puluh tujuh ini ke proyek lain oleh boss-ku, tanpa alasan yang jelas.

“Seperti zaman orba saja,” itu komentarku off the record.

~oOo~

Di kemudian hari, musholla itu ternyata tidak selesai dalam 77 hari, entah apa bencana yang kemudian menimpa daerah itu, entah bagaimana pula sikap pak Kyai Sanca Wangsit menghadapi kenyataan itu, yang jelas dari selentingan aku mendengar bahwa angka triple 7 itu selain untuk ukuran dan waktu ternyata mempunyai makna lain yang jauh lebih sederhana. 77 itu nomor partai seseorang ”Atasan” Pak Kyai Sanca Wangsit dan 77 hari itu agar peresmiannya bisa dilaksanakan bersamaan dengan deklarasi partai tersebut. Rasional sekali, tak dicampuri hal ghoib secuil pun.

Tentang bencana? Itu hanya akal-akalan saja, yang terrealisasi hanya “bencana“ yang menimpaku yang diakibatkan Sang “Atasan” itu pula.

Tunggu, makna yang ketiga? Aku tak tahu apakah aku harus tertawa atau harus berpura-pura tidak tahu, yang jelas menurut selentingan pula pak Kyai Sanca Wangsit sedang pontang-panting mencari pinjaman untuk meredakan amarah “atasannya” yang telah mengucurkan money politic sebanyak 7 X 7 juta ke lipatan serban pak Kyai Sanca Wangsit!

Pati, 21 Januari `08

Cerpen Kyai Sanca Wangsit di atas karya Kresna Pati mengingatkan saya pada novel Ahmad Tohari yang berjudul Orang-orang Proyek. Barangkali penulisnya terinspirasi oleh novel tersebut. Artikel Kyai Sanca Wangsit saya temukan pada buku Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf halaman 155 – 161, yang diterbitkan oleh kerja sama antara Indiva-FLP-Taman Budaya Jateng (2008). Buku ini berupa kumpulan 15 cerpen tulisan Fiksi Limabelas Penulis yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena Jawa Tengah.

Judul-judul cerpen dan penulisnya adalah Perjamuan Malaikat (Afifah Afra), Sudah Mati (Izzatul Janah), Elang Hilang Sayap (Titaq Muttaqwiati), Battumi Anging Mamiri (Sakti Wibowo), Agustus Tahun Depan (NasSirun PurwOkartun), Barongan (Jazhimah Al-Muhyi), Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (A. Adenata), Ziarah Batu (M.N. Furqon), Maling (Aveus Har), Kerbau Pak Bejo (Rianna Wati), Jenmani untuk Ibu (Deasylawati P), Surat Buat Tuhan (Nashita Zayn), Bendera Bawang (Prana Perdana), Kyai Sanca Wangsit (Kresna Pati) dan Matahari Tergadai.