Belajar untuk mengurangi mengonsumsi kopi perlu perjuangan tersendiri. Awal mula saya menyukai kopi sejak zaman kuliah dulu, apalagi kalau bukan untuk menahan kantuk karena sering lembur menyelesaikan tugas-tugas kuliah atau mendapatkan proyek menggambar peta yang mesti selesai keesokan harinya.
Menyukai kopi berlanjut hingga sekarang. Kegiatan ngopi tidak identik dengan perokok, setidaknya jika menggunakan referensi diri saya sendiri. Saya tidak merokok, tetapi sangat suka kopi.
Apa yang saya sebut sebagai kopi yakni kopi item. Kopi susu atau dicampur krimer bukan kopi (asli) namanya, apalagi belakangan muncul istilah kopi putih. Ehm, kopi kok putih. Kopi itu ya hitam warnanya atau paling ndak berwarna coklat tua.
Efek samping minum kopi berlebihan dapat dibaca di aneka media. Sementara itu, khasiat kopi juga tak kalah banyaknya.
Gara-gara asam lambung saya naik kadarnya, tiba-tiba saya harus memutuskan mengurangi konsumsi kopi. Beberapa dokter yang saya datangi mengatakan hal yang sama, termasuk dokter yang itu 😉
Saya manut. Nurut dengan kesadaran penuh. Tak serta-merta berhenti ngopi, kudu dikurangi pelan-pelan. Sanggupkah?
Semuanya tergantung niat. Awalnya ngopi dengan mug besar sebanyak tiga kali sehari kemudian saya kurangi dengan pagi mug kecil, siang mug besar, malam mug kecil. Lalu dengan mug kecil sebanyak tiga kali sehari, dilanjutkan menjadi dua kali sehari: pagi dan siang.
Kalau di kantor kadang Gino lupa menyajikannya dengan mug besar tetapi setelah saya tengok ternyata isinya cuma separuh saja. Mug kecilnya sedang terpakai semua, barangkali.
Hari-hari berlalu dengan sangat nyaman dengan tetap ngopi dua kali, bahkan sekali saja tak merasakan apa-apa.
***
Syahdan, pekerjaan menumpuk di kejar deadline.
“No…. kopine endi? Jam yah mene kok durung nggawe kopi, apa pabrik kopine tutup?!” kata saya kepada Gino di ambang pintu pantry.
“Kan belum jamnya to pak. Apa dibuatkan sekarang saja?” tanya Gino sambil nyengir.
Sajian kopi Gino mengikuti irama kerja saya. Mug kopi besar yang telah lama tersimpan di lemari pantry kembali hadir di atas meja kerja saya.
Tubuh drop: batuk pilek ndak sembuh-sembuh. Terpaksa pergi ke dokter setelah beberapa hari minum obat warung kurang cespleng.
***
Dokter pertama: “Tensi bapak tinggi 140/90. Kurangi kopi dan merokok. Ini saya kasih obat untuk lima hari.”
Saya berhenti ngopi sementara. Lima hari kemudian saya kembali ke tempat praktek dokter sebab batuk dan pilek saya belum sembuh, tetapi bukan dokter pertama yang piket. Sebut saja dokter kedua.
“Tensi bapak tinggi 140/90. Kurangi kopi, merokok, goreng-gorengan dan jangan makan buah yang bikin batuk seperti rambutan. Ini saya kasih obat untuk lima hari.”
Selama masa pengobatan saya ndak ngopi sama sekali. Kalau sedang kangen ngopi, saya seduh kopi lalu saya hirup aromanya. Ketika obat habis, batuk saya belum sembuh juga.
Kali ini dokter pertama yang praktek. Prosedur baku dalam pemeriksaan diawali dengan ukur tensi darah dan memindai suara dada dan perut dengan stetoskop.
“Tensi bapak masih tetap 140/90. Kurangi kopi dan merokok. Ini saya kasih obat untuk lima hari,” kata dokter pertama.
“Obat yang cespleng ya dok, jangan seperti obat kemarin. Ini ketiga kalinya saya datang ke sini!” ujar saya.
Baru dua hari mengonsumsi obat batuk saya sembuh!
***
Ketika saya masuk ruangan Pak Bos, beliau sedang mengukur tensi darahnya dengan sebuah peralatan digital. Lalu saya pinjam alat tersebut. Mudah dan praktis digunakan.
Pada monitornya terbaca: sys 118 dia 78 pulse 70.
Ehm, bisa ngopi lagi nih.
“Gino….. pabrik kopinya sudah buka belum?!”