Kridha lumahing asta

Parjiman kepalanya ngelu, uang pesangon yang ia terima dua bulan lalu ketika ia dipecat dari tempatnya bekerja habis sudah. Sesungguhnya ia tak diam di rumah. Sehari setelah tak berstatus sebagai pekerja pabrik ia telah berkeliling kota menjajakan surat lamarannya. Tak ada yang mau memperkerjakan dirinya.

Di saat ia memeras otak, terlintas di fikirannya wajah mBah Man tetangga sebelah rumah. Lelaki tua yang tuna netra itu sudah sekian tahun menjadi tetangga Parjiman. 

Kini saatnya mBah Man membalas semua kebaikanku padanya.

Ketika Parjiman mendatangi rumah mBah Man, lelaki sepuh itu tengah duduk ngisis sambil mengelus-elus tongkatnya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mBah Man mengandalkan kebaikan para tetangganya, seperti Parjiman yang sering memberikan sepiring-dua nasi.

“Lekum, mBah!”

“Eh, salam. Awakmu to Ji. Ora nyambut gawe?

Wis dipehaka, mBah. O iya, njenengan bisa bantu cari duit loh mBah. Njenengan mengikuti perintahku saja.”

Piye to Ji, aku kok ora mudeng!

Ora mudeng ora papa mBah, yang penting pembagiannya nanti aku dapat tujuh puluh persen, njenengan tiga puluh persennya. Yo sekarang kita berangkat!”

mBah Man belum sempat berfikir, tangannya sudah ditarik oleh Parjiman dan ia diminta untuk duduk manis di boncengan motornya. Parjiman segera melajukan motornya menuju pusat kota. Sepanjang perjalanan mBah Man bertanya kepada Parjiman mau dibawa ke mana namun Parjiman diam seribu bahasa.

Setelah menitipkan motornya, Parjiman menggandeng tangan mBah Man dan membawanya ke perempatan lampu merah.

“mBah, mulai sekarang tengadahkan tangan di kaca pintu mobil. Aku akan selalu menggandeng njenengan. Selalu ucapkan salam setiap jemari njenengan menyentuh kaca pintu mobil!”

Loh, dadi aku mbok ajak ngemis, Ji?

Konsep keutamaan bersedekah yang dipahami serta sensitifnya rasa iba masyarakat Indonesia, menyebabkan penghasilan mengemis mBah Man dan Parjiman tergolong cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari bahkan ada sisa untuk ditabung.

Sesuai perjanjian, mBah Man hanya mendapatkan tiga puluh persen. Itulah nasih sebuah objek, sebab bagaimana pun tokoh intelektualnya yang mendapatkan keuntungan berlipat.

Setengah tahun berlalu.

“Ji, aku capek ngemis. Pengin pensiun saja!”

“Kalau njenengan capek, aku akan menggendongmu mBah. Yang penting njenengan masih sudi menengadahkan tangan.”

Parjiman yang menggendong mBah Man di terik matari siang hari menjadi pemandangan yang dramatis. Kalau sudah begitu dapat dipastikan penghasilan ngemis mereka hari itu bakalan panen raya.