Kita sangat akrab dengan Tuhan

Kita ini sesungguhnya sangat akrab dengan Tuhan, hanya saja banyak dari kita yang nggak menyadari hal tersebut bahkan cenderung menjaga jarak dengan-Nya. Tahu nggak, nekjika kita mendekati-Nya dua langkah Dia akan berlari mendekati kita. Buku Suci juga mengatakan kalau Dia mengalir di pembuluh darah kita. O, betapa dekatnya. Melekat, bahkan.

Kehadiran Tuhan adalah pahala terindah.

Mau bukti lagi betapa akrabnya kita dengan Tuhan? Dalam khazanah bahasa Indonesia, posisi Tuhan ditempatkan demikian akrab dengan keseharian kita. Lihat saja dalam paragraf pertama tulisan ini. Dari tadi saya menyebutnya dengan “Dia” dan “Nya” bukan dengan sebutan “Beliau” atawa “Paduka”  atawa sebutan yang mengambil jarak. Menyebut panggilan Tuhan dalam bahasa tulisan hanya dibedakan dengan huruf kapital.

Bukan hanya itu saja. Dalam doa-doa kita, kita memanggil Tuhan dengan sebutan “Engkau” atawa “Mu” di belakang kalimat. Beranikah kita memanggil pak Bupati atawa pak RT, misalnya, dengan sebutan engkau? Bahkan sering kita “kurang ajar”, sudah memanggil-Nya dengan sebutan Engkau, kita masih berani kasih perintah kepada-Nya. Unggah-ungguhnya, kepada Tuhan kita mestinya meminta/memohon, bukan memerintah. Coba ingat-ingat kalimat doa yang sering kita baca, sebagian besar kalimatnya berbentuk perintah bukan?

Tuhan sangat egaliter. Dia nggak marah atas “kekurangajaran” kita dalam memanggil nama-Nya. Kita sering mengawali doa kita dengan kata “wahai” sebelum menyebut nama-Nya misalnya: Wahai Tuhan, ampunilah dosa-dosaku ini. Seringkali juga kita “kurang ajar” berdoa nggak melalui mulut atawa hati kita, namun kita tuliskan di akun twitter atawa fesbuk kita. Jangan-jangan Tuhan tersenyum melihat tingkah kita yang lucu ini.

“Walaupun statusnya selalu invisible, Tuhan itu selalu online”
(Budiman Hakim, 2009)

Dalam khazanah bahasa Jawa, posisi Tuhan ditempatkan demikian tinggi. Kita nggak berani njangkar menyebut nama-Nya. Tak mungkin menyebut Tuhan dengan sebutan “Kowe”, tetapi dengan panggilan yang sangat terhormat. Bahkan berdoa pun kita nggak berani menggunakan bahasa ngoko (bahasa Jawa dalam tataran paling rendah), tetapi akan menggunakan bahasa yang paling halus. Hal ini berbeda dengan bahasa Indonesia seperti yang saya tuliskan di atas.

Kesimpulannya: kita sangat akrab dengan Tuhan.

Tapi kenapa kita masih susah merangkai kalimat saat berkomunikasi dengan Tuhan, padahal dengan sangat mudahnya mencari bahan obrolan bila kita bertemu kawan?