Kita (masih) Bisa Menyelamatkan Bumi

Berat jantung hanya sekitar 1% dari total bobot tubuh manusia, tetapi perannya sangat penting bagi hidup kita. Bumi kita memiliki sejumlah ekosistem yang hanya menempati sekitar 1% saja dari permukaan bumi. Seperti halnya jantung, perannya sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Wilayah ini disebut Hotspot Keanekaragaman Hayati.

Wilayah hotspot merupakan rumah dari 60% spesies flora dan fauna yang ada di dunia. Selain bermanfaat sebagai penyedia makanan, obat-obatan, udara bersih, dan air, wilayah ini mampu menjaga kelangsungan hidup.

Peran apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan jutaan hektar dan ratusan spesies di wilayah-wilayah tersebut?

  • Gunakan air secara bijak sesuai kebutuhan
  • Gunakan tisu secara wajar
  • Jangan melakukan pembalakan kayu liar
  • Jangan berburu hewan atau binatang yang dilindungi

Upaya yang sederhana seperti di atas dapat membawa perubahan bagi dunia.

Di masa depan wajah bumi akan semakin merana, jika pemanasan global terus berlanjut. Tapi, itu masih bisa dicegah bila kita berhemat energi mulai dari sekarang.

Pemanasan global adalah naiknya suhu permukaan bumi yang disebabkan peningkatan karbondioksida (CO2) dan gas-gas lain atau gas rumah kaca yang menyelimuti dan memerangkap panas. Kenaikan suhu ini mengubah iklim dan membuat kepunahan banyak spesies, kebakaran hutan, oemutihan karang, penularan penyakit, makin ganasnya badai, hingga pencairan es di kutub sampai permukaan air laut naik dan menenggelamkan banyak pulau.

Polutan terbesar CO2 adalah sektor energi, karena berasal dari bahan bakar fosil. Saat ini, pembangkit listrik menghasilkan 37% emisi CO2 di seluruh dunia!

Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah pemanasan global?

  • Matikan lampu atau televisi, jika tidak digunakan
  • Ganti lampu di rumah dengan lampu hemat energi
  • Gunakan kendaraan bermotor pribadi jika benar-benar dibutuhkan
  • Kurangi pemakaian plastik

Anda suka seafood?

Produk hidangan laut (seafood) Indonesia berada dalam ambang kepunahan, ketika praktek penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan mengancam ekosistem laut dan populasi ikan. Perikanan dunia dan jumlah cadangan ikan berada pada situasi kritis, di mana 75% lautan dunia telah dikeruk sampai ambang batas. Hilangnya cadangan ikan, menurunnya jumlah dan ukuran iklan hasil tangkapan menunjukkan ada terlalu banyak kapal mengejar ikan yang semakin sedikit.

Bila Anda memilih dengan hati-hati seafood yang akan Anda nikmati, Anda telah berkontribusi dalam melestarikan laut untuk masa depan.

WWF-Indonesia telah meluncurkan seafood guide, sebuah Panduan Konsumen untuk Seafood Ramah Lingkungan, sebagai bagian dari kampanye “Laut Sehat, Seafood Sehat”, sebuah program kerja sama WWF-Indonesia dengan Yayasan Unilever Indonesia Peduli, untuk mempromosikan perikanan bertanggung jawab.

Anda dapat menggunakan panduan berikut saat memilih seafood. Bila memungkinkan, mintalah seafood yang masuk daftar AMAN. Ada beragam seafood yang sehat dan bergizi. Berhati-hatilah dan perhatikan saat Anda memilih seafood dari daftar KURANGI. Produk-produk ini seringkali diperoleh dari cara penangkapan yang tidak lestari atau tidak ramah lingkungan. Hindarilah memesan seafood dari daftar HINDARI. Seafood di daftar ini mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya mungkin terjadi by-catch terhadap satwa dilindungi.

AMAN : teri, barakuda, mahi-mahi, tongkol, marine catfish, bandeng, bawal, tola laut/rainbow runners, lemuru/sarden, layang, cakalang, mackerel kecil, tengiri, cumi-cumi, tuna ekor kuning/madidihang, tuna albakor/albacore, bobara/kue.

KURANGI : lencam/emperor, telur ikan, ikan sebelah, ekor kuning, kepiting bakau, layaran/marlin, gurita, baronang, teripang, gerot-gerot/sweetlips, kambing-kambing, tuna mata besar, kuda laut, todak, udang, kakap, pari, butana

HINDARI : abalonies, ketam-kelapa, lumba-lumba, duyung, kima raksasa, kerapu, lobster/udang karang, pari manta, napoleon, mola-mola, hiu (semua produk), triton, trochus, telur penyu, penyu, hiu paus, tuna sirip biru.

Sekarang kita tahu, sekarang kita bisa bertindak.

Sumber: National Geographic Magazine