Kisah Semut Buta dan Tuli

Aku terpisah dari rombongan yang pulang dari mencari makan. Ketika itu, aku masih sangat muda. Aku belum hafal benar setiap sudut dan ruang istana ini. Aku bukan tak berusaha untuk menemukan teman-temanku. Bahkan setengah mati kukerahkan segenap tenagaku, berlari dari satu liang ke liang lain, dari satu sudut ke sudut lain, hingga akhirnya seluruh kakiku lemas dan bertenaga.

Sungguh, istana ini lebih menyesatkan daripada hutan belantara. Ketika itu, aku tak lebih daripada seekor semut muda yang sedang melepas lelah di sudut sebuah ruang, sambil menangis tersedu-sedu karena terpisah dari rombonganku. Meski aku seekor semut jantan yang baginya adalah pantang untuk menangis.

Saat itulah, takdirku sebagai semut buta dan tuli dimulai. Melihat siapa yang masuk ke ruangan ini, membuat nafasku hampir terhenti. Hanya ada beberapa lilin yang menyala di kamar seluas ini. Meski remang, tak mungkin mataku salah melihat. Jelas, lelaki itu aku sangat mengenalnya. Seluruh bangsa semut juga tahu, ia adalah Sulaiman Nabi Allah, yang dapat bercakap dan mengerti bahasa kami. Dan perempuan yang bergayut mesra di pundaknya itu, sudah tentu ia Bilqis, Ratu yang tersohor dari negeri Saba’eeya.

Saat itu, aku segera sadar. Tempat ini adalah ruangan yang terlarang bagi siapa pun – seluruh jin, semua binatang tak peduli seberapa ukurannya, apalagi manusia – selain Nabi dan istrinya, Bilqis. Dan malam itu, aku telah membuat kesalahan dengan menjadi satu-satunya ‘makhluk terlarang’ yang berada di kamar Nabi Sulaiman.

Aku bingung dan sangat takut. Aku benar-benar tak mengerti apa yang harus aku perbuat. Jika dapat memilih, tentu aku memilih mati saat itu juga. Dalam kebingungan itu, aku mendengar Sulaiman dan istrinya bercakap di tepi ranjang.

“Kau hampir membuatku putus asa, Bilqis. Belum pernah aku mencintai seorang wanita mana pun sebesar cintaku kepada engkau…”

“Dan kau membuatku gemetar, Sulaiman,” jawab istrinya.

“Aku tak mengerti, Sayang. Coba kau terangkan padaku tentang gemetar yang kau rasakan itu,” pinta Nabi sambil mengurai rambur istrinya. Pada bayangan di tembok pualam, kulihat siluet Nabi di sana, menyatu lama dengan kepala istrinya. Aku tak berani melihat keadaan yang sebenarnya. Tetapi bayangan itu cukup jelas bercerita, harum rambut Bilqis membuat Nabi tak segera beranjak dari mencium wanginya.

“Gemetarku ini adalah kumpulan dari berbagai rasa, suamiku. Takut, senang, kuatir …,” jawab istrinya. Di tembok pualam, bayangan yang tadi menyatu begitu lama, kini mendua.

Didorong oleh jiwa mudaku yang selalu ingin tahu, kuberanikan diri untuk melihat mereka dengan mata kepalaku sendiri. Bilqis menunduk. Nabi mengulurkan kedua tangannya untuk mengangkat wajah istrinya. Ia mengelus pipi Bilqis yang selicin pualam itu dengan lembut dan penuh perasaan.

“Apa yang kau takutkan dan kuatirkan dari aku, Bilqis?” tanya Nabi sambil menatap mata istrinya, lekat-lekat.

“Aku takut kehilangan engkau, Sulaiman, kekasihku. Aku kuatir jika suatu saat nanti engkau menikah lagi.”

“Ssshh … dengar aku baik-baik, Bilqis,” kata Nabi sambil menggenggam jemari tangan istrinya, “tidak akan ada pernikahan lagi bagi Sulaiman setelah ia hidup bersama Bilqis, Ratu Saba’, “ janjinya.

“Aku menyukai kata-katamu, suamiku. Tapi maaf, aku tidak mempercayainya …,” jawab Bilqis sambil melepaskan tangannya dari genggaman tangan Nabi. Kulihat Ratu Saba’ itu beringsut menjauh dari tubuh Nabi dan beranjak dari tepi ranjang. Perempuan itu bahkan seperti tak peduli pada Nabi yang duduk di tepi ranjang dengan raut wajah kebingungan. Tapi tak lama kemudian, aku melihat seulas senyum, senyum tipis di bibirnya, senyum seorang istri yang hanya bisa dimengerti oleh suaminya.

Ia berdiri dan memadamkan lilin, satu demi satu. Dalam remang yang menggelap, kudengar suara Nabi membujuk istrinya dengan sabar. “Bilqis … istriku sayang…”

Gelap. Seluruh lilin telah dimatikan oleh istri Nabi. Dalam keadaan seperti ini, aku tak dapat melihat apa pun sekarang. Aku hanya dapat mendengar.

“Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu percaya padaku, Bilqis,” kata Nabi dengan suara seperti berbisik, hampir tak terdengar.

Meski pada mulanya gelap, cahaya bulan yang masuk melalui sela-sela lubang angin, sedikit menerangi ruangan itu. Apa yang kulihat dengan kedua mataku dan apa yang kudengar dari suara mereka yang semakin lirih, membuat jiwa mudaku sebagai semut jantan terasa menggebu-gebu.

Hatiku mengingatkan aku. Aku tidak boleh melihatnya. Juga tidak boleh mendengarnya. Di sisi lain, jiwa mudaku sangat menginginkannya. Aku ingin melihatnya lagi. Aku ingin terus mendengar bujuk rayu itu.

Aku gelisah. Aku mondar-mandir di atas lemari. Aku ingin melihat, tapi tak berani. Aku ingin membuka telinga, tapi takut berdosa.

Alangkah degilnya aku! Seekor semut muda yang tersesat di kamar pengantin Nabi. Alangkah lancangnya aku melihat apa yang mereka lakukan. Kalau pun Nabi tidak tahu, sesungguhnya Allah Mahatahu. Ah, betapa bodohnya aku! Kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Tidak bisa dibiarkan!

Aku harus menemukan cara untuk menghentikan kelancangan mataku ini.

Nah itu dia! Seujung jarun di tepi lemari. Tidak ada ampun bagi seekor semut yang durhaka pada Nabi-Nya. Biarlah, biar aku sendiri yang menusuk mataku agar buta selamanya. Ampuni aku, ya Allah…!

Crash! Crash!

Meski sakitnya tak tertahankan, aku tak peduli. Dan tak boleh peduli, karena telingaku masih mendengar canda mesra Nabi yang semakin mesra pada istrinya. Alangkah hinanya aku, mendengar apa yang tak boleh aku dengar! Ini, seujung jarum yang sama. Aku harus menghentikan kebusukan jiwa mudaku yang tak tahu aturan ini.

Biarlah, biar saja telingaku tertusuk jarum dan menjadi tuli selamanya! Ini hukuman buatku! Ya Allah, saksikanlah … aku bertobat kepada-Mu. Ampunilah aku, ya Tuhanku …

Begitulah kisahnya. Kisah tentang kebutaan dan ketulianku, seekor semut muda yang waktu itu tersesat di kamar pengantin Nabi.

~oOo~

Sudah seminggu ini terjadi ontran-ontran video asoi para artis yang menjadi pembicaraan hangat khalayak luas, mulai rakyat jelata hingga petinggi negeri. Banyak yang muak, banyak yang menyayangkan, banyak yang suka ada juga banyak yang penasaran karena belum menyaksikan video itu. Menyikapi terjadinya kasus seperti itu, sudahkah kita bertindak seperti kisah seekor semut di atas yang dengan sadar ‘membutakan’ mata dan ‘menulikan’ telinga? Kisah semut yang buta dan tuli ini bisa ditemukan dalam Novel The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba pada halaman 153 – 156. Novel ini karangan Waheeda El-Humayra yang diterbitkan oleh Penerbit Mizania (Mei, 2008).