Pada sebuah dinding sudut dapur milik keluarga Pak Abdul, terjadilah dua persahabatan antara seekor cicak dan sebuah lampu teplok. Mereka berkawan sudah cukup lama dan masing-masing mempunyai nama kesayangan. Cicak yang cantik itu bernama Ceci, sedangkan lampu teplok dipanggil dengan Tepli.
Awal perkenalan mereka tanpa disengaja. Saat Ceci sedang mencari makan di dapur terdengar tangisan pilu si Tepli, dan Ceci pun menghampirinya.
“Kawan, kenapa malam-malam begini kamu menangis demikian memilukan hati. Aku tidak tahan mendengarnya, hingga aku menghampirimu?” tanya si Ceci kepada Tepli.
“Tidakkah kamu lihat, betapa malang nasibku kini. Tak pernah sekalipun pemilik rumah ini memperdulikan aku semenjak lampu neon dan lampu pijar itu menggantikan peranku menerangi rumah ini. Dulu mereka sangat sayang padaku. Setiap sore sebelum aku dipakai, mereka mengelapku hingga bersih. Tapi kini, lihatlah keadaanku. Kotor dan dekil penuh debu!” Tepli sesenggukan menceritakan nasib buruknya.
“Kamu tahu Ali kan, anaknya Pak Abdul pemilik rumah ini? Dulu ia sangat membutuhkan diriku untuk menemaninya belajar hingga malam. Bahkan dengan sinarku yang tidak terlalu terang, ia bisa belajar dengan nyaman dan akhirnya memperoleh prestasi di sekolahnya. Oh… malang nian nasibku kini. Hanya dinding dan langit-langit dapur saja tempatku mengadu!” Tepli melanjutkan ceritanya.
“Sudahlah, kamu jangan bersedih lagi. Suatu saat kamu akan dipakai juga oleh keluarga ini. Dan sekarang, aku jadi teman setiamu. Aku akan selalu menghiburmu, kawan,” kata si Ceci menghibur Tepli.
Dan mulai malam itu mereka bersahabat. Bahkan si Ceci sering membawa teman-temannya bermain di sekitar Tepli.
Pada suatu ketika negeri ini dilanda krisis listrik berkepanjangan. Pemadaman bergilir diberlakukan tidak pandang bulu. Penduduk negeri uring-uringan, termasuk Pak Abdul dan keluarganya. Betapa tidak, pemadaman bergilir dilakukan setiap hari. Untungnya saja, wilayah tempat tinggal Pak Abdul mendapatkan jatah padam siang hari. Tetapi itu hanya sementara saja sifatnya, karena di pekan berikutnya pemadaman akan dilakukan pada malam hari.
Mendengar berita tersebut, Pak Abdul bergegas pergi ke Padeblogan untuk mengadu kepada Kyaine.
“Kyaine, mohon pencerahan. Ini tidak adil. Sungguh tidak adil!” Pak Abdul, begitu bertemu Kyaine langsung saja menyampaikan uneg-unegnya.
“Sebentar Pak Abdul, ada apa ini. Duduk dulu, kita bicarakan baik-baik. Jangan membuat saya terbengong-bengong begini,” Kyaine mencoba bersabar.
Setelah duduk dengan nyaman, Kyaine mempersilahkan Pak Abdul menceritakan masalah yang dibawa ke Padeblogan.
“Begini Kyaine. Ini perkara pemadaman listrik bergilir. Sungguh tidak adil. Seingat saya, ehm, saya nggak pernah sekali pun menunggak pembayaran rekening listrik. Lho, ini kok pengelola listrik sewenang-wenang saja melakukan pemadaman. Uang yang saya bayarkan tiap bulan itu untuk apa? Dikorupsi? Begini saja Kyaine, bagaimana kalau kita demo besar-besaran untuk memprotes kebijakan pemadaman bergilir ini!” kalimat Pak Abdul mengalir seperti banjir bandang di daerah Bandung Selatan dan susah untuk dipenggal oleh Kyaine.
“Terus, ke mana mau demo-nya, siapa yang memimpinnya?” tanya Kyaine.
“Ya… semua saya serahkan kepada Kyaine. Panjenengan kan yang tahu jalur birokrasinya ke mana? Bukan begitu, Kyaine?” jawab Pak Abdul.
“Gini… gini… urusan krisis listrik ini nggak sesederhana yang Pak Abdul pikirkan. Sekarang Pak Abdul pulang saja, nanti perkara listrik ini saya bicarakan dengan yang punya wewenang. Camkan kata-kata saya ini Pak Abdul : jangan hanya mengutuk kegelapan lebih baik nyalakan lampu teplok!” kata Kyaine, yang sebetulnya ingin segera mengakhiri dongeng ini.
“Itu kata kiasan atau apa adanya, Kyaine?” tanya Pak Abdul.
“Terserah Pak Abdul dalam memahami konteksnya. Lebih baik, bicarakan kata-kata saya tadi dengan Ali, anak Pak Abdul yang cerdas itu!” kata Kyaine sambil mempersilakan Pak Abdul pulang ke rumah.
Ketika Pak Abdul sampai di rumah hari hampir gelap. Bu Abdul uring-uringan karena listrik sudah dipadamkan sejak satu jam lebih awal dari yang dijadualkan. Ia mencari lilin ke segala sudut rumah, tidak ada. Ali, yang mulai besok ulangan akhir semester tak kalah panik. Tak mungkin baginya untuk tidak belajar. Bagaimana ia akan bisa belajar kalau dalam keadaan gulita.
“Jangan hanya mengutuk kegelapan lebih baik nyalakan lampu teplok!” kata Pak Abdul mengagetkan isitri dan anaknya yang sedang sibuk mencari lilin.
Ali segera ke dapur, menuju tempat bergantungnya Tepli. Ia raih si Tepli, dan dibersihkannya semprong dan tempat minyaknya. Si Tepli kaget, tetapi hatinya bahagia. Ternyata di saat genting seperti ini, ia dibutuhkan keluarga Pak Abdul.
Tepli memberikan cahayanya. Rumah keluarga Pak Abdul, malam itu seperti ada kehidupan yang baru.
Note: Judul dan alur cerita oleh Kakaakin