Kisah lahirnya Jaka Tarub

Kisah-kisah mengenai Jaka Tarub beberapa kali saya tulis berdasarkan interpretasi bebas yang saya pahami. Terakhir saya menuliskannya di artikel Penerus Tahta Majapahit, di sana saya menyinggung sepintas peran Ki Tarub (nama tua Jaka Tarub) yang dititipi anak oleh Prabu Brawijaya hasil perkawinannya dengan seorang selir berkulit gelap/keling. Tapi pernahkah kita mendengar tentang kisah lahirnya Jaka Tarub?

~oOo~

Telangkas takjub. Siapa orang ini? Namun lelaki itu tak menghiraukan ketakjuban yang terpancar dari wajah pemuda di depannya.

“Dua puluh enam tahun lalu, aku melepaskan dahagaku dengan meminum air jernih di mata air ini. Tak banyak yang berubah. Hanya beberapa tumbuhan muda baru yang kini tampak tumbuh subur di sana-sini. Ketika itu aku melihat seorang wanita muda tengah mengambil air untuk melepaskan dahaganya.”

Telangkas dengan seksama mendengarkan.

“Wanita itu begitu cantik, kulitnya putih bersih. Rambut ikalnya menjuntai menghiasi pelipisnya. Dia tak menyadari jika di tempat yang sama hadir pula sosok lain yang juga tengah memuaskan dahaga. Kala itu aku terheran-heran, siapakah wanita itu, yang begitu berani berada di tengah hutan sendirian? Manusiakah? Atau makhluk halus? Saat aku tengah termangu-mangu keheranan sembari memperhatikannya, wanita muda itu baru menyadari kehadiran orang lain selain dirinya. Begitu dia tahu ada aku yang tengah berdiri berseberangan dengannya di sisi lain mata air, segera dia bangkit dan berlari ke tengah hutan. Aku kaget. Namun, entah mengapa, ada dorongan kuat dalam diriku untuk bergerak mengejarnya.”

Telangkas menyipitkan matanya.

“Aku berlari menyeberangi mata air ini, berusaha mengejar wanita misterius yang sesaat lalu berdiri di sisi lain mata air.”

Lelaki itu tersenyum, Telangkas masih takzim menyimak.

“Aku tahu, dia tengah bersembunyi di balik sebuah pohon. Dia sedang mengawasiku. Tanpa buang waktu, aku berlari ke arah tempat bersembunyi. Wanita itu kaget manakala mengetahui pengaruh gaib yang ditebarkannya tak mempengaruhiku sama sekali. Kala dia hendak menghindariku, secepatnya aku pegang tubuhnya. Dan aku berhasil menangkapnya. Dan ia meronta.”

Lelaki berjubah itu menghela nafas sejenak.

“Aku berbisik di telinganya kala itu, aku tidak bermaksud jahat. Aku tahu dia seorang pertapa. Dan aku hanya ingin mengenalnya semata. Dan, wanita itu akhirnya menyerah. Tubuhnya, yang semula meronta berusaha melepaskan diri dari dekapanku. Dia bercerita bahwa dirinya berasal dari timur, dari wilayah pesisir utara Jawa, Kadipaten Tuban. Yang mengejutkanku, dia terang-terangan mengaku sebagai putri bungsu Adipati Tuban, Arya Adikara. Dia adalah adik dari Raden Ayu Teja. Dia mengaku bernama Dewi Retna Dumilah. Keberadaannya di hutan ini adalah menuruti perintah ramandanya, Arya Adikara, yang memerintah dirinya untuk bertapa selama tujuh bulan.”

Lelaki berpakaian abu-abu itu mendesah sejenak.

“Kami berdua akhirnya dekat. Dan kami semakin dekat manakala aku tahu, dirinya seyakinan denganku. Aku baru tahu jika Adipati Arya Adikara telah memeluk Islam. Ini disebabkan kakaknya, Raden Ayu Teja, dinikahi seorang Cina muslim, bernama Haji Gan Eng Chu. Nama muslimnya adalah Haji Abdulrahman.”

Orang tua itu menarik nafas panjang.

“Seiring waktu, aku semakin tertarik dengan Dewi Retna Dumilah. Sebaliknya, aku juga merasakan hal sama dari dirinya. Dia semakin dekat dan semakin akrab kepadaku. Getar-getar cinta mulai tumbuh di antara kami. Tak jauh dari sini, ada seorang bekas murid Syekh Jumadil Kubro. Seorang wali sepuh yang sangat disegani. Dengan bantuannya, kami akhirnya dinikahkan.”

Lelaki berjubah abu-abu itu terdiam, mengenang sesuatu.

“Hingga akhirnya, Retna Dumilah mengandung. Dia ketakutan mengetahui kehamilannya, sebab secara tidak langsung dia telah melanggar perintah ayahnya. Ketakutannya memuncak manakala usia kandungannya memasuki usia lima bulan. Dalam ketakutan yang sedemikian, Retna Dumilah memutuskan untuk pulang ke Tuban. Aku mencegahnya. Namun suatu hari, tanpa berpamitan, dia meninggalkan gubuk kami dan nekat pulang ke Tuban. Aku sangat sedih dan khawatir dengan dirinya, hingga aku berusaha menyusul dan melacak jejaknya. Namun aku tak mendapati jejaknya saat menuju Tuban. Dalam usahaku menyusulnya, aku bertemu Syekh Jumadil Kubro. Dia memerintah aku untuk kembali ke tempat ini. Kembali meneruskan tapa brata dan tidak perlu menyusul Retna Dumilah ke Tuban. Belum saatnya, katanya. Aku menurut, dan kembali ke tempat ini, walau dengan batin yang gundah.”

Lelaki itu terdiam sesaat.

“Tiga bulan kemudian, sehabis mengumpulkan makanan, aku terkejut ketika melihat ada beberapa prajurit di gubukku. Sempat terlintas pikiran buruk di benakku. Namun pikiran buruk itu hilang ketika kulihat Retna Dumilah juga hadir di sana. Mataku terantuk pada sosok mungil yang ada dalam gendongannya. Dia menjelaskan bahwa beberapa hari yang lalu, di sebuah tempat yang tak jauh dari gubukku, dia melahirkan dengan bantuan pelayanan wanita yang dibawanya dari Tuban. Kedatangannya ke tempat ini hanya sekedar menuruti perintah ramandanya, bahwa dirinya tidak diperkenankan merawat bayi yang tidak diketahui siapa ayahnya.”

Lelaki itu menarik napas pedih. Telangkas terhanyut oleh ceritanya. Diam-diam, hatinya ikut bersedih. Entah mengapa.

“Bayi lelaki itu diserahkan kepadaku. Ia ditaruh di dalam peti emas yang berukir indah. Lalu Retna Dumilah mohon pamit untuk kembali pulang ke Tuban. Tak bisa lagi aku mencegah kepergiannya. Yang tinggal di gubukku hanya diriku bersama bayi mungil di dalam peti emas indah tersebut.”

Peti emas? Telangkas teringat sesuatu.

“Aku sempat kebingungan. Aku tidak tahu cara merawat bayi. Bayi itu jelas membutuhkan susu dari seorang ibu. Dalam kebingunganku kala itu, mendadak aku teringat bahwa tak jauh dari sini ada pedukuhan. Aku teringat pada seorang wanita, janda dari pemimpin dukuh yang tidak memiliki putra. Terbersit sebuah rencana di pikiranku. Saat menjelang malam, aku meraih peti emas berisi bayi itu dan bergegas menuju ke arah pedukuhan itu.”

Dada Telangkas seketika terasa hendak meledak. Dia pernah mendengar cerita yang sama dari warga dukuh, juga dari biyungnya. Wajah Telangkas langsung berubah, lidahnya terasa kaku.

“Di dalam peti itu sengaja aku tuliskan pesan di selembar daun lontar. Pesan yang meminta agar bayi tersebut harus diberi nama Kidang Telangkas.”

Bagai disambar petir di siang bolong, tubuh Telangkas lemas tak bertenaga. Kelopak matanya panas. Menetes sudah air bening dari sana tanpa bisa dibendungnya lagi.

~oOo~

Kisah di atas dikutip dari buku Sabda Palon Kisah Nusantara yang Disembunyikan yang ditulis oleh Damar Shashangka, dalam Pupuh 6 berjudul Kidang Telangkas pada halaman 115-133. Novel yang diterbitkan oleh Dolphin (2011) setebal 444 halaman ini seperti menyatukan kepingan sejarah masa lalu terutama periode mulai pudarnya kejayaan Majapahit. Pada novel ini diceritakan juga kisah Damarwulan dan Minakjingga. Kalau Anda pernah membaca novel Perang Paregreg-nya LKH, Anda bisa membandingkannya dengan Minakjingga di Sabdo Palon. Hemat saya, periode peristiwa yang terjadi di masa lalu lebih masuk akal ketika membaca novel ini.