Lagu Kebyar-Kebyar belum juga usai. Pikiran mBah Sastro Kiyer melayang ke sebuah bangunan yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur 56. Imajinasinya berdasarkan cerita teman seperjuangannya yang menyaksikan Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Bung Karno yang terbaring lemah karena sakit menunggu kedatangan Bung Hatta. Ia tak mau pembacaan proklamasi tanpa Hatta. Ia memerlukan Hatta karena Bung Karno orang Jawa dan Hatta orang Sumatera. Demi persatuan ia memerlukan seorang dari Sumatera. Hatta adalah jalan yang terbaik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.
Akhirnya, Hatta yang ditunggu-tunggu Bung Karno datang dan menemuinya di kamar. Bung Karno segera berpakaian. Serba putih. Tak ada sepatah kata di antaranya keduanya yang dapat dicatat oleh sejarah. Pun dari mereka tak ada semangat yang menyala-nyala. Keduanya nampak letih, dan mungkin sedikit takut.
Upacara itu tanpa protokol. Tak seorang pun ditugaskan untuk itu. Seorang perwira PETA tertua yang bernama Tjudantjo Latif Hendraningrat masuk dan bertanya kepada Bung Karno, “Apakah Bung Karno sudah siap?” Bung Karno mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Bung Karno melangkah keluar, sementara di belakangnya menyusul Bung Hatta dan Ibu Fatmawati.
Bung Karno berjalan ke arah pengeras suara yang dicuri dari stasiun radio Jepang dan dengan ringkas Bung Karno mengucapkan pernyataan kemerdekaan Indonesia. Upacara sederhana saja, akan tetapi apa-apa yang kurang dalam kemegahannya dipenuhi oleh Bung Karno, Bung Hatta dan segenap yang hadir saat itu dalam suatu pengharapan besar.
Sampai di sini, mata mBah Sastro sembab oleh air mata. Semua yang hadir diam, tak berani mengeluarkan suara. Mereka tak tahu apa yang ada dalam pikiran Mbah Sastro.
“mBah Satro nggak apa-apa? Mari kita duduk mBah… eh… tolong berikan air itu… biar diminum mBah Sastro,” seseorang mengajak mBah Sastro duduk dan minta kepada temannya mendekatkan akua gelas.
mBah Sastro meneguk air dalam kemasan itu dan menyeka air matanya.
“Matur nuwun. Saya nggak apa-apa. Hanya ingat peristiwa Bung Karno membacakan teks proklamasi,” tukasnya.
“O iya mBah, benarkah bendera yang dikibarkan waktu itu dibuat oleh Ibu Fatmawati?” tanya pemuda yang menyodorkan akua tadi.
“Iya. Ibu Fatmawati sebelumnya telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Itu adalah bendera resmi yang pertama dari Republik Indonesia!” papar mBah Sastro.
“Terus yang ngerek bendera sinten mBah?” tanya pak RT.
“Ini cerita yang saya dengar dari teman seperjuangan saya dulu….,” mBah Sastro mulai bercerita.
Tidak ada orang yang ditugaskan untuk mengerek bendera. Tiada persiapan untuk itu. Bahkan tak seorang pun berpikir sampai kesitu. Tjudantjo Latif Hendraningrat segera membuat tiang bendera sepanjang batang bambu yang dipotong secara tergesa. Buatannya kasar dan tidak begitu tinggi dan asal tancap. Setiap orang menunggu dengan tegang apa yang dilakukan oleh Latif. Ia mengambil bendera dan mengikatkan pada tali yang kasar dan mengibarkannya…. seorang diri… dengan kebanggaan. Yah, untuk pertama kali bendera itu berkibar setelah tiga setengah abad.
Tidak ada musik. Tiada pancaragam. Setelah bendera naik melambai-lambai, mereka yang hadir di sana menyanyikan lagu Indonesia Raya. “Alhamdulillah, bendera Republik sudah berkibar sekarang,” Bung Karno mendoa dalam hati.
Semua orang menahan nafas mendengar kisah ini, apalagi ketika menceritakannya suara mBah Sastro bergetar.
Note: kalimat dengan tulisan miring saya sadur secara bebas dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.