Kisah Bendera Pusaka (1)

mBah Sastro Kiyer selalu menjadi rujukan cerita perjuangan kemerdekaan Indonesia di saat dilakukan tirakatan malam 17 Agustusan di DusunTentrem. Ia menjadi salah satu sedikit pejuang Angkatan ’45 yang masih sugeng, hidup. Nama aslinya Wahono, dengan tambahan nama tua Sastrowiyoto. Orang-orang suka menyebut dengan mBah Sastro Kiyer, hanya karena mata kiri mBah Sastro yang suka berkedip-kedip secara refleks. Konon, mata kirinya pernah terserempet martir pasukan Belanda.

Beliau selalu menggebu jika bercerita zaman clash II  dulu. Saat itu usianya masih belasan tahun, namun sudah ikut bergerilya dan berperang mengusir Belanda dari tanah air.

“mBah, kenapa bendera Indonesia berwarna merah-putih ya?” tanya seorang pemuda di malam tirakatan, tahun lalu.

Mata mBah Sastro Kiyer menerawang dan terlihat berkedip-kedip tak terkendali.

Ngene ngger. Bendera Indonesia adalah bendera pusaka warisan nenek moyang kita yang perkasa. Ia memiliki makna filosofis, yakni merah berarti berani, putih berarti suci. Kenapa mBah sebut sebagai warisan nenek moyang? Dulu, saat Kerajaan Majapahit berjaya di bumi khatulistiwa, umbul-umbulnya berwarna merah dan putih. Panji merah-putih selalu digunakan pada saat upacara kebesaran kenegaraan di bawah pemerintah Hayam Wuruk. Jauh di masa sebelumnya, Jayakatwang ketika melawan Kertanegara, juga menggunakan bendera merah-putih.”

“Kalau zaman Mataram pripun mBah?” tanya pemuda itu lagi.

“Tak hanya Sultan Agung raja Mataram yang menggunakan panji-panji warna merah, tetapi juga di Kerajaan Melayu Minangkabau di bawah Raja Adityawarman. Bahkan Raja Sisingamangaraja dari Batak pun berbendera merah-putih. Di Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan juga menggunakan bendera merah-putih. Lalu, ketika terjadi perang Aceh, para pejuang Aceh pun memakai bendera merah-putih. Opo ora hebat?” tukas mBah Sastro.

Semua orang dengan takzim mendengarkan sesorah mBah Sastro Kiyer. Kemudian, ia melanjutkan ujarnya. “Coba kalian tengok adat di Dusun Tentrem ini, juga dusun-dusun lain di tanah Jawa. Sejak dulu warna merah dan putih digunakan untuk upacara selamatan tingkeban bayi. Saat kandungan berusia empat bulan dibuatlah bubur yang diberi pewarna merah sebagian di tengahnya. Orang Jawa memercayai kalau kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba ibu. Nanti, dalam setiap peringatan malam weton si anak, orang tua akan membuatkan dua bubur, merah dan putih.”

Indonesia merah darahku, putih tulangku bersatu dalam semangatmu….

Sayup-sayup terdengar lagu Kebyar-Kebyar dari tep-rekorder yang distel oleh panitia tirakatan. mBah Satro berdiri. Tegak. Tangan kanannya disilangkan di dadanya. Ia meresapi lagu yang dilantunkan oleh Mas Gombloh itu. Serentak semua peserta tirakatan berdiri mengikuti mBah Sastro.

biarpun bumi bergoncang kau tetap Indonesiaku
andaikan matahari terbit dari barat kaupun tetap Indonesiaku
tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan daku darimu