Malam ini Mas Suryat dan sahabat kentalnya, Kandam, mendapat jatah ronda di kompleks perumahan mereka. Lah, kompleks perumahan ‘mewah’ kok penghuninya ronda sih? Apa mereka tak mampu membayar Hansip atau Satpam? Mewah di sini berarti mepet sawah, perumahan kelas RS8 rumah sangat sederhana sampai-sampai selonjoran saja sangat susah. Daripada mereka keluarkan biaya untuk bayar petugas ronda mending warga digilir untuk pam swakarsa.
Setiap malam ada 3 orang yang mendapatkan jatah ronda. Kebetulan Mas Suryat dan Kandam satu regu dengan Pak Sastro yang kebetulan menjabat sebagai Ketua RT 05. Rumah Pak Sastro tak jauh dari pos ronda, bahkan terlihat jelas dari tempat itu.
Mas Suryat dan Kandam sudah berada di pos ronda lima belas menit lalu, sementara Pak Sastro masih di rumah. Aktivitas Mas Suryat dan Kandam ngobrol ngalor-ngidul sambil menunggu kiriman jatah kopi dan gorengan lagi Bu Sastro.
Mereka menghentikan obrolan ketika terdengar suara Bu Sastro yang sedang mengomeli Pak Sastro. Kandam memasang telinga baik-baik, apa pangkal persoalan hingga Bu Sastro memarahi suaminya seperti itu. Kandam berjalan mengendap untuk mendekati rumah Pak Sastro untuk menuntaskan rasa penasarannya. Ia melihat dengan jelas, kalau Pak Sastro diam saja, tidak berkutik sama sekali. Kandam geram sangat melihat hal tersebut dan segera menemui Mas Suryat.
“Heran aku, apa Pak Sastro itu termasuk suami takut istri, masak diomelin Bu Sastro malah diam saja. Kalau aku digituin sama istriku sudah tak krues-krues lambene!” ujar Kandam penuh emosi.
Mas Suryat tersenyum lalu berkomentar, “Kamu mestinya meniru sikap Pak Sastro. Diam ketika istri ngomel.”
“Busyet! Ya, nggak bisa begitu, Mas. Apa Mas Suryat juga akan diam jika diomelin sama istri?” tanya Kandam.
Mas Suryat minta Kandam duduk di sampingnya lalu ia berkata, “Aku akan bersikap seperti Pak Sastro karena aku sudah tahu ilmunya. Sebuah kebijakan yang diajarkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab.”
“Kebijakan macam apa, Mas?” tanya Kandam penasaran.
Sejurus kemudian Mas Suryat menceritakan sebuah kisah yang dialami oleh Umar bin Khattab:
“Pada suatu hari ada seorang lelaki bermaksud mengadu kepada Umar bin Khattab, atas perilaku istrinya yang suka marah-marah kepadanya. Ia ingin minta nasihat kepada Sang Amirul Mukminin. Apa yang terjadi ketika ia sampai di depan pintu rumah Umar? Rupanya istri Umar sedang ngomelin Sang Amirul Mukminin. Lelaki itu penasaran, kenapa Umar yang terkenal tegas itu diam saja ketika dimarahi istrinya.”
“Khalifah Umar diam saja, Mas?” tanya Kandam tak habis mengerti.
Mas Suryat melanjutkan kisahnya.
“Lelaki itu bereka-wicara, jika seorang Amirul Mukminin saja bersikap seperti itu, bagaimana dengan diriku? Dan tanpa ia sadari Khalifah Umar sudah berada di hadapannya lalu menanyakan maksud kedatangannya. Lelaki itu menceritakan maksud kedatangannya menghadap Umar yakni ingin mengadukan sikap istrinya yang suka marah-marah. Eh, ternyara hal ini juga terjadi pada Sang Amirul Mukminin.”
Kandam tak sabar mengetahui kisah selanjutnya, “Kemudian kebijakan apa yang diberikan Umar, Mas?”
“Khalifah Umar berkata seperti ini: aku tetap sabar menghadapi perbuatan istriku karena itu memang kewajibanku. Bagaimana aku bisa marah kepadanya karena dialah yang mencuci bajuku. Dia yang memasak roti dan makananku. Dia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Bersikaplah sabar kepada istrimu karena istrimu yang membuat kamu tenteram di sampingnya. Jadi, kita sebagai suami harus mampu menahan diri terhadap perangainya yang suka ngomel itu.”
“Mampu menahan diri maksudnya bagaimana, Mas?” tanya Kandam lagi.
“Mampu menahan diri karena yakinlah omelan istri itu hanya sebentar saja,” ujar Pak Sastro yang tiba-tiba nimbrung obrolan mereka.
Dan betul saja kata Pak Sastro, tak lama kemudian datanglah Bu Sastro membawa seteko kopi dan aneka gorengan bikinannya sendiri. Bahkan Bu Sastro sempat mencandai Pak Sastro seolah sudah melupakan peristiwa omel-mengomel yang diributkan oleh Kandam.