Ketawang Ibu Pertiwi

Radio di kamar bapak terdengar gending Ketawang Ibu Pertiwi. Tanda kalau siaran radio tersebut hampir usai. Sungguh syahdu dan khidmat terdengar di telinga dan terserap di hati. Ibu Pertiwi berarti bumi kelahiran, tanah tumpah darah dan rasa kebangsaan.

Ibu Pertiwi paring boga lan sandhang kang murakabi, paring rejeki manungsa kang bekti ibu pertiwi. Ibu Pertiwi sih sutresna mring sesami, ibu pertiwi kang adil luhuring budi/ ayo sungkem mring ibu pertiwi

Terjemahan bebasnya:
Ibu Pertiwi memberi kecukupan sandang pangan, memberikan rejeki pada insan berbakti (kepada) ibu pertiwi. Kasih sayang kepada sesama, ibu pertiwi yang adil luhur budi(nya), mari berbakti kepada ibu pertiwi.

Siaran radio terhenti, tetapi sayup-sayup masih terdengar bunyi kresek-kresek frekuensi-nya. Tak lama kemudian bapak memutar tombol off. Kemudian, dengkuran bapak menemani malam kami.

Entah kenapa malam itu aku kancilen, terserang keadaan sulit memejamkan mata. Malam mendekati puncaknya.

Sinar rembulan menembus jendela kamarku. Nun terdengar sapu lidi diseret di jalan aspal depan rumahku oleh mbah Sangkrah menuju kuburan. Sebenarnya aku sudah sering mendengar cerita dari teman-temanku, kalau setiap jumat dini hari mbah Sangkrah akan menyapu jalan dari rumahnya menuju kuburan desa kami.

“mBah Sangkrah menyiapkan jalan menuju alam kuburnya supaya bersih,” kata ibuku suatu ketika. “Lelaki sepuh yang usianya hampir seratus tahun itu meyakini, ia akan mati di hari jumat.”

***

Pada suatu hari jumat di bulan Sapar, mbah Sangkrah meninggal. Sebagai tetua desa yang kami hormati, kami sangat berduka. Kami bergotong-royong menyiapkan pemakamannya.

“Salah satu wasiat simbah, kepergiannya minta diiringi gending ibu pertiwi,” tutur Mas Tri, salah satu cucunya.

Gending Ibu Pertiwi karya Ki Nartosabdo ini sering diperdengarkan untuk menyambut tamu atau upacara-upacara penting sebagai lagu kehormatan karena sifatnya yang khidmat, tenang dan berwibawa.

Sebagai orang yang masih memegang tradisi, upacara pemakaman mbah Sangkrah diawali dengan brobosan, anak-cucu berjalan di bawah keranda (yang diangkat) sebanyak tiga putaran dengan simbol mikul dhuwur mendhem jero, menjunjung tinggi kebaikan dan melupakan keburukan si marhum.