Karna menjemput impian

Karna membuka-buka koran yang terbit kemarin yang ia temukan di jok belakang angkot milik bapak angkatnya. Ia tertarik pada sebuah iklan besar hampir seperempat halaman. Iklan yang didominasi warna merah telah mencuri perhatiannya. Di sana terpampang foto lelaki tampan sedang mengepalkan tangan, di atasnya terdapat gambar burung Jatayu yang perkasa menelengkan kepala ke arah kanan.

“Yang Mulia Destarasta mengajak putera-puteri terbaik Hastinapura untuk menjadi calon tentara terbaik demi berjuang mewujudkan perubahan di Hastinapura.”

Karna menghela nafas membaca huruf-huruf kapital berwarna kuning itu. Matanya kembali disapukan ke tulisan yang agak kecil di bawahnya.

“Persyaratan: (1) memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Hastinapura Nomor 212; (2) setia kepada dasar Kebijakan Kerajaan Hastinapura dan cita-cita leluhur Hastinapura; (3) bersedia mengikuti pendidikan dan latihan  bagi calon tentara Hastinapura; (4) mengisi formulir pendaftaran yang ditentukan oleh Badan Seleksi Calon Prajurit Hastinapura; (5) menyerahkan CV; (6) menyerahkan foto kopi ijazah terakhir dan akta kelahiran; dan (7) menyerahkan foto kopi KTP yang masih berlaku dan pasfoto berwarna ukuran 4X6 sebanyak 3 lembar.”

Karna mengulangi lagi membaca persyaratan yang ada. Hatinya terasa terganjal ketika membaca persyaratan nomor (6). Karna sadar, sebagai anak angkat sopir angkot yang miskin-papa, bapak angkatnya tak mampu menyekolahkannya di sekolah formal yang biayanya sangat tinggi. Selain itu, sebagai anak yang ditemukan di aliran sungai di masa bayinya dulu mustahil baginya mendapatkan dokumen akta kelahiran. Ia sendiri tak tahu siapa orang tua yang telah mengandungnya dulu.

Tanpa ia sadari, ada tangan tua menepuk bahunya. Ia adalah Adirata, sang sopir angkot yang selama ini merawat dan membesarkan Karna.

Ngger, bapak tahu kegelisahanmu. Memang kurang elok, anak seperkasa dan sehebat kamu hanya di rumah saja. Mestinya tenaga dan pikiranmu bisa menjadi modal dirimu mengabdi untuk Hastinapura. Bapak salut kepadamu, dengan cara otodidak atawa kamu belajar kepada para pandita, hingga kamu dapat membaca, berolah pikir dengan cakap ditambah dengan kemampuanmu olah kanuragan, mestinya kamu dapat diterima sebagai tentara di Hastinapura,” ujar Adirata sambil mengelus kepala Karna.

“Tapi tak ada salahnya kalau aku akan menjemput impian dengan menghadap ke panitia Seleksi Calon Prajurit Hastinapura, bukan? Mohon doa restunya ya pak?” sahut Karna.

Adirata merestui langkah anak angkatnya itu dengan sepenuh hati. Mungkin ini adalah jawaban atas doa-doanya selama ini, ia ingin Karna menjadi orang yang mukti wibawa.

Maka dengan kemantapan hati, Karna pergi ke Hastinapura.