Jangan abaikan titah ibu

Gandari bersedih hati. Perang Bharatayuda yang berlangsung hingga hari ketujuh belas telah menghilangkan nyawa sebanyak sembilan puluh sembilan anak yang lahir dari rahimnya. Tinggal Suyudana saja yang masih hidup. Sebagai seorang ibu yang melahirkan seratus anak, kematian satu per satu adik-adik Suyudana itu membuat pilu hatinya.

Agar Suyudana memenangkan pertempuran esok harinya, ia memanggil putra sulungnya itu untuk menghadap kepadanya. Ia tak mau anak keturunannya musnah gara-gara perang saudara di Padang Kurusetra tersebut.

Ia berpesan kepada Suyudana, saat menghadap kepadanya ia harus dalam keadaan telanjang bulat dan sebelumnya agar mandi terlebih dahulu. Sebagai tanda bakti anak kepada ibunya, Suyudana memenuhi permintaan ibu tanpa bertanya alasan kenapa mesti telanjang.

Suyudana selesai mandi, ia segera menemui ibunya yang berada di tenda sebelah. Sesuai pesan ibunya, ia datang tanpa selembar pakaian yang ia kenakan.

Ketika ia akan membuka tenda ibunya, ia bertemu dengan Kresna.

“Suyudana, kenapa engkau bertelanjang seperti ini? Tak elok seorang raja Hastinapura berlaku seperti orang gila, bagaimana kalau para prajuritmu melihat tingkahmu ini?” sela Kresna.

“Wahai, Kresna. Aku mau menemui ibuku. Memang dalam keadaan seperti inilah yang ia minta,” jawab Suyudana.

“O, tambah tak bermoral menemui ibu kandung dalam keadaan telanjang. Lihatlah, engkau sekarang sudah tua. Sudah beranak-istri, bukan balita lagi. Sudah kembalilah ke tendamu, dan kenakan pakaianmu,” perintah Kresna.

Suyudana sungguh malu dipergoki Kresna dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Segera saja ia kembali ke tendanya dan kenakan pakaiannya. Tetapi ia ingat, ibunya menginginkan ia bertelanjang. Suyudana ragu. Ia mengambil jalan tengah, ia hanya mengenakan celana boxer-nya saja.

Bergegas ia menemui ibu yang sangat dikasihinya itu.

“Ibu, aku datang menemuimu!” kata Suyudana kepada Gandari yang sejak tadi menunggunya.

Gandari tersenyum. Akhirnya ia akan menyaksikan anak sulungnya dengan mata terbuka. Sejak ia dinikahi oleh Prabu Destarastra – raja yang but aitu, ia bersumpah setia kepada suaminya itu dengan ikut-ikutan membutakan matanya dengan menutupinya dengan kain hitam. Ia beranak-pinak tanpa sedetiknya melihat paras anak-anaknya, bahkan Suyudana sebagai putra sulung yang saat ini sedang menghadapnya.

Gandari segera membuka kain hitam penutup matanya yang telah ia kenakan selama puluhan tahun itu. Ajaib, dari kedua mata Gandari memancar sinar berkilauan memindai seluruh tubuh Suyudana.

“Anakku, engkau telah mengabaikan titah ibu. Mestinya engkau datang ke ibu dalam keadaan telanjang setelanjang-lanjangnya. Jangan ada yang ditutupi. Tahukah engkau, pindaian sinar mata ibu akan memberikan efek kekebalan tubuhmu dari serangan musuh dalam pertempuranmu esok hari,” titahnya.

“Aku telah terpedaya oleh Kresna, ibu!” sesal Suyudana.

“Tak ada senjata apa pun yang sanggup melukai tubuhmu, kecuali jika senjata itu mengenai bagian tubuh yang tertutup celana boxer-mu itu,” tutur Gandari sambil mengenakan kembali penutup matanya.

Mendengar tuturan ibunya itu, Suyudana sangat menyesal mengapa ia lebih mendengarkan nasihat Kresna, ketimbang titah ibunya. Nasihat Kresna ternyata menjerumuskannya.

Tapi semuanya sudah terlambat, esok ia harus bertempur melawan Werkudara. Kelak Suyudana tewas karena bagian selangkangnya dikoyak habis oleh kuku Pancanaka milik Werkudara, ksatria tinggi besar dari Klan Pandawa.