Memang sudah menjadi kodratnya manusia: selalu mengelak, bahkan pada saat kepepet sekalipun. Justru pada saat kepepet seperti itu ide brilian untuk mengelak berhamburan dari otaknya. Mengelak berarti mempertahankan diri dari serangan lawan. Mengelak juga berarti ingin lari dari tanggung jawab. Ada yang bernasib baik, ada yang apes.
[1]
Arkian pada sebuah perusahaan, masing-masing jabatan sudah punya uraian tanggung jawab yang biasa disebut sebagai job description atau tugas pokok dan fungsi (tupoksi) atau istilah lain sebangsa itu yang diuraikan secara detil dan tertulis.
Akan sangat aneh jika ada seorang karyawan yang mengelak terhadap tupoksi yang memang betul-betul menjadi tanggung jawabnya. Orang semacam ini suka menggunakan jurus tai-chi master, selalu mengelak dan berkata: ini bukan pekerjaan saya, tapi pekerjaan kalian.
Biasanya, karyawan semacam ini sluman-slumun-slamet saja.
[2]
Ada wartawan foto melihat-lihat foto hasil jepretannya di komputernya. Ia senang sekali bisa mengabadikan Pak Pejabat yang sedang diwawancara oleh temannya. Ia tertarik pada jam tangan yang dikenakan Pak Pejabat. Iseng-iseng, ia zoom gambar jam tangan tersebut. O, betapa terkejutnya ketika disadarinya jam tangan tersebut merk terkenal dan harganya mencapai 1 miliar.
Ia memberitahu ke temannya dan ditulislah di korannya. Bikin heboh. Pak Pejabat yang bergaji tak seberapa mana mungkin membeli jam tangan seharga selangit seperti itu? Kira-kira seperti itulah yang ada di benak kebanyakan orang. Sebagian yang lain, percaya kalau jam tangan milik Pak Pejabat memang super mahal.
Berita itu membuat Pak Pejabat kerepotan menjawab pertanyaan wartawan-wartawan lain. Timbul ide brilian Pak Pejabat. Ia sesumbar kepada para wartawan, “Jam tangan saya ini palsu. Harganya tak sampai lima ratus ribu!” Adegan berikutnya, Pak Pejabat membanting jam tangan dan menginjaknya keras-keras.
Jam tangan mahal tersebut hancur lebur.
Persoalan selesai.
[3]
Pada sebuah kelas 5B SDN 1 Kebonwungu. Ibu Narti sedang memberikan pelajaran IPA. Murid-murid serius memandang ke depan kelas, sebab ibu guru menggunakan alat peraga.
Tiba-tiba kelas dihebohkan oleh sebuah aroma khas: bau kentut. Jika keluar tanpa suara biasanya menghasilkan bau semerbak, Kontan anak-anak menutup hidung dan saling tuduh. Pelajaran IPA berhenti sejenak. Ibu Narti tak kuasa menghentikan kegaduhan yang terjadi.
Tatapan mata anak-anak tertuju kepada anak lelaki yang rambutnya disisir menyamping yang duduk di bangku bagian tengah. Seakan ada yang mengomandoi, mereka berseru: “Agus yang kentutttt!!! Agus yang kentutttt!!!”
Anak lelaki yang bernama Agus itu berdiri dan berteriak kencang, “Bukan aku yang kentutttt!!!”
Tak lama ia duduk kembali dan menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Kemudian terdengar tangis lirih dari mulut Agus. Semakin lama semakin keras hingga pundak Agus bergerak naik-turun. Ia sibuk menangis, tidak memerhatikan pelajaran.
Di rapor kenaikan kelas milik Agus, nilai pelajaran IPA tertulis 5.