Jihadmu seperti apa?

(1)

Seorang anak muda menuliskan sebuah surat bagi keluarganya. “Ananda sudah mendapatkan tiket ke surga, karena sudah ditetapkan sebagai pengantin syuhada. Mohon maaf segala khilaf yang ananda lakukan selama ini untuk ibu, ayah, kakak dan adik-adik semua.” Sepuluh hari kemudian, ayah dan ibu anak muda tersebut dijemput polisi untuk datang ke rumah sakit untuk identifikasi DNA, apakah cocok dengan milik seorang mayat yang tubuhnya hancur akibat bom bunuh diri. Ia tewas sebagai martir. Ayah pemuda itu menyesalkan tindakan anaknya. Ia berbisik di depan mayat anaknya itu, “Mestinya jihadmu adalah mengajari saudara-saudaramu yang shalatnya belum benar atawa mengajari mereka yang buta huruf hijaiyah dengan alif-ba-ta.”

(2)

“Apakah ummi benar-benar ikhlas, jika besok abi berangkat ke medan perang sebagai relawan?” tanya seorang suami kepada istrinya. Medan pertempuran Gaza telah menggerakkan dan memantapkan hatinya untuk berjihad ke sana, menolong korban perang yang sebagian besar penduduk sipil. Sebagai istri yang berbakti, ia menjawab tanpa ragu, “Silakan abi berjihad. Ummi akan setia menunggu abi, ditemai oleh jabang bayi yang ada di kandunganku ini. Ummi ikhlas.” Ia mencium punggung telapak tangan suaminya. “Jika abi syahid di sana, bagaimana?” pancing suaminya. Dengan tersenyum, istrinya menjawab, “Abi jangan buru-buru masuk surga, tunggulah kedatangan ummi barang sejenak di gerbang surga. Kita akan masuk ke sana bersama-sama.”

(3)

“Cara berjihad saya adalah menjadi seorang guru yang baik bagi murid-murid yang saya ajar. Guru yang baik di sini adalah benar-benar bisa digugu dan ditiru,” kata seorang guru. Jika dilihat perilaku sehari-harinya, ia memang berjihad: tak pernah membolos mengajar, menjalankan ajaran Bapak Pendidikan Nasional: ing ngarso sung tuladha – ing madya mangun karsa – tut wuri handayani, hidup semadyanya dalam arti tak mengeluh dengan besaran gaji yang ia terima saban bulannya dan yang penting dalam setiap mengajar di depan kelas tak lupa ia tanamkan budi pekerti kepada anak didiknya.

(4)

Ia melakukan jihad sejak proses seleksi penerimaan Taruna Bhayangkari. Tanpa uang pelicin ternyata ia bisa menjadi prajurit berseragam coklat susu. Ia lakukan tugasnya berdasarkan sumpah prajurit. Sepanjang kariernya tak ada catatan hitam yang tertoreh dalam curriculum vitae-nya. Tak hanya ia saja yang berjihad seperti itu. Kawan sekolahnya memilih masuk prajurit berseragam hijau. Juga tanpa uang sogokan, semua murni karena kemampuannya mengikuti seleksi yang sangat berat. Mereka prajurit terbaik di kesatuannya.

(5)

Seorang HRD Manager berkata kepada koleganya dalam satu forum HRD yang rutin mereka ikuti. “Jihad kita adalah tidak mendzolimi para karyawan. Mereka, para karyawan itu, kita berikan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Sangat sederhana.”

(6)

“Jangan sekali-sekali mengurangi timbangan. Kita harus jujur kepada pembeli kita. Kalau barang yang kita jual berkualitas bagus katakan bagus, pun untuk yang jelek. Katakan kualitasnya jelek, jangan ditutupi!” nasihat seorang pedagang beras kepada para karyawannya. “Itulah salah satu bentuk jihad kita sebagai pedagang!” katanya lagi.

(7)

Jihadnya seorang Narablog adalah menyajikan tulisan yang memberi manfaat bagi pembacanya, tidak menuliskan aib orang lain, tidak menyebarkan kebencian dan fitnah, dan tulisan-tulisannya menghormati perbedaan SARA.