Jenang Ajaib Pembayar Hutang

Tiga hari ini Pak Jagabaya uring-uringan dengan istrinya karema tidak bisa memberi uang belanja. Selama tiga hari itu pula, Mbok Jagabaya mengutang pada warung sebelah. Pak Jagabaya memang tak punya uang untuk diberikan kepada istrinya tercinta, sebab uang simpanannya habis untuk membeli pupuk.

Sebagai hansip di desanya, gaji Pak Jagabaya memang tak seberapa. Hanya tiap bulan dijatah beras dan sedikit uang dari Pak Lurah. Walaupun begitu, Pak Jagabaya merasa cukup sebab dia juga mempunyai sawah, kendati tak begitu luas.

Pak Jagabaya termasuk orang yang rajin, terutama yang berhubungan dengan tugasnya sehari-hari sebagai orang yang menjaga keamanan dan ketentraman desa. Banyak orang senang padanya, selain rajin dia juga termasuk orang yang cerdik. Pulang dari kelurahan, dilihatnya istrinya duduk di balai-balai sambil mengunyah susurnya. Wajahnya cemberut. Pak Jagabaya hapal dengan gelagat istrinya, pasti ingin mengajak bertengkar lagi. Benar, begitu Pak Jagabaya sampai di depan istrinya bukannya disambut dengan ramah, tetapi disemprot dengan kata-kata.

Kalau sudah begitu, Pak Jagabaya memilih diam. Istrinya tentu saja tambah jengkel melihat ulah suaminya.

“Sudahlah Mbok, jangan marah terus. Bisa pusing aku nanti. Begini saja, sekarang kau pergi ke belakang. Buatlah jenang untuk aku bawa ke tempat ronda”, kata Pak Jagabaya sambil melepas baju seragamnya.

Istrinya semakin sewot. Permintaan Pak Jagabaya dianggap aneh, katanya kemudian “ Pak… pak… mbok nyebut. Uang saja tak punya. Bagaimana aku bisa membuat jenang, kalau bahannya tak ada. Lebih baik aku kau beri uang untuk membayar utang-utangku di warung sebelah!”

“Kerjakan saja perintahku. Utang lagi di warung sebelah, nanti malam pati aku dapat uang dari jenang tersebut!” bentak Pak Jagabaya.

Dengan bersungut-sungut, akhirnya Mbok Jagabaya pergi ke belakang untuk membuat jenang pesanan Pak Jagabaya.

Malam ini Pak Jagabaya mendapat jatah ronda malam. Satu kelompok dengan Pak Kenut, Pak Kentong dan Pak Gerdu. Pak Jagabaya datang paling awal dibanding teman-temannya, dan tak lupa membawa jenang buatan istrinya.

Sampai di pos ronda, cepat-cepat dicarinya daun yang sudah kering. Daun itu untuk meletakkan jenang buatan istrinya. Sambil menoleh kiri-kanan, dengan hati-hati ditaruhnya jenang itu di bawah balai-balai pos ronda. Setelah itu, diambilnya sebatang rokok dari saku bajunya dan kemudian disulutnya rokok itu. Sambil menunggu teman-temannya datang, dihisapnya rokok itu pelan-pelan.

Tak berapa lama, Pak Kentong dan Pak Gerdu datang. Kemudian mereka bertiga asyik bercerita dan bergurau. Sampailah pembicaraan itu pada soal makanan.

“Malam ini jatah siapa sih yang menyediakan makanan dan minuman?” tanya Pak Gerdu.

“Pak Kenut. Tadi saya lihat istrinya sibuk membuat makanan kecil. Maklumlah, Pak Kenut baru saja menjual sapinya. Wah… pasti makanan yang dibawa Pak Kenut enak dan banyak,” jawab Pak Kentong sambil berharap.

“Ngomong-ngomong soal makanan nih. Saya ingin mengajak taruhan dengan kalian. Begini taruhannya. Siapa yang berani makan tahi anjing di bawah ini, akan saya beri uang seribu rupiah. Mau tidak?” kata Pak Jagabaya sambil menunjuk jenang yang ditaruh di bawah balai-balai tadi. Pak Kentong dan Pak Gerdu saling berpandangan. Ini sih taruhan gila, begitu pikir Pak Kentong.

“Bagaimana, berani tidak?” Pak Jagabaya mengulang pertanyaannya.

“Pak, saya belum gila. Mana mungkin tahi anjing disuruh masuk ke perut saya ini. Jangan main-main, jelek-jelek begini kami sekeluarga tiap hari makan nasi,” begitu alasan Pak Kentong.

“Iya pak, hanya orang gila saja yang mau makan tahi anjing. Biarpun dibayar seratus ribu, saya tak bakal mau!” Pak Gerdu menimpali.

Perbincangan semakin seru, karena tak ada yang berani memakan “tahi anjing” di bawah balai-balai yang tak lain jenang buatan istri Pak Jagabaya. Sampai akhirnya Pak Kenut datang membawa makanan kecil dan minuman.

“Ada apa ini, kok ramai sekali?” tanya Pak Kenut kemudian. Pak Kentong pun menjelaskan masalah taruhan Pak Jagabaya yang tak masuk akal tadi. Pak Kenut manggut-manggut.

“Begini saja, sekarang Pak Jagabaya yang makan tahi anjing itu. Kalau Pak Jagabaya berani memakannya, saya beri uang sepuluh ribu rupiah. Nih uangnya, sisa hasil menjual sapi tadi pagi,” kata Pak Kenut kemudian.

Dalam hati Pak Jagabaya bersorak. Siasat untuk mendapatkan uang berhasil. Dengan pelan, diambilnya tahi anjing itu. Agar tak mencurigakan, dipencetnyalah hidungnya, seakan dia mencium bau tak sedap. Sejurus kemudian, tahi anjing palsu itu dikunyahnya sambil cengar-cengir seperti orang yang jijik. Ketiga temannya heran melihat tingkah Pak Jagabaya itu.

Setelah selesai makan, disahutnya uang sepuluh ribu yang terletak di depannya, dan dimasukkannya ke dalam saku bajunya. Esoknya, seluruh desa gempar karena ulang Pak Jagabaya semalam. Sementara itu Mbok Jagabaya tersenyum, karena utang-utangya di warung sebelah telah lunas.

Suara Merdeka – MI, Mei 1990