Jayakarta (2)

Syahdan, Maulana Hasanudin anak dari Sunan Gunung Jati sedang memerintah Kerajaan Banten ketika Fatahillah menaklukkan Sunda Kalapa. Atas perintah Sunan Gunung Jati, Fatahillah menjadi mentor Hasanudin untuk menjadikan Kerajaan Banten besar dan terkenal. Mau tidak mau, Fatahillah mesti bolak-balik dari Jayakarta ke Banten dan itu sangat menyita waktunya.

Maulana Hasanudin sangat cepat menyerap ilmu pemerintahan dan perekonomian yang diajarkan oleh Fatahillah. Hal ini menyebabkan Fatahillah mengabaikan Jayakarta. Benar, Pelabuhan Banten menjadi sangat berperan dalam perdagangan internasional. Kapal-kapal besar yang biasanya berlabuh di Jayakarta beralih ke Banten. Bandar Jayakarta mendadak sepi, ditinggalkan oleh kapal dagang dan yang tinggal hanya kapal-kapal nelayan. Jayakarta berubah menjadi kota pelabuhan nelayan.

“Di situlah kesalahanku, Kyaine.”

Aku diam. Memandang ke arah pelabuhan dalam temaram senja. Aku melihat seorang nelayan naik ke atas perahunya mencoba menghidupkan motor perahunya. Gagal. Ia mengumpat. Bahan bakarnya habis, rupanya.

“Lalu, maksud Raden mengundang saya ke sini untuk apa?”

“Saya mendengar saat ini raja Surakarta sedang bertarung di Jayakarta. Apa benar kabar itu, Kyaine?”

Aku mengerutkan jidat.

“Raja Surakarta? Paku Buwono-kah yang Raden dengar sedang bertarung di Jayakarta ini?”

“Bukan… bukan…. Raja Surakarta yang ini mengenakan pakaian kebesaran bermotif kotak-kotak merah. Perawakannya ceking, tampang ndeso khas wajah Jawa, tanpa mahkota meskipun itu berupa kopiah atawa bersorban. Ia berambut tipis belah pinggir. Bukankah ia raja Surakarta yang bertahta sekarang ini?”

Aku tertawa mendengar diskripsi raja Surakarta yang dimaksud Fatahillah.

“O, raja Surakarta yang panjenengan maksud itu bernama Jokowi. Joko Widodo. Ia seperti halnya panjenengan, yang datang ke Jayakarta atas perintah Sultan Trenggana dan para wali. Ia pun datang bertarung di sini atas perintah partai pimpinan Megawati yang berkoalisi dengan partainya Prabowo. Pada pertarungan pertama beberapa waktu yang lalu, raja Surakarta itu berhasil menakhlukkan Jakarta.”

“Jakarta?”

“Iya, raden. Sebutan Jayakarta telah berubah menjadi Jakarta.”

Tiba-tiba saja tangan Fatahillah menarik tanganku. Ia mengajakku meninggalkan tempat itu dan aku dibawa ke arah tenggelamnya matari. Langkahku terasa sangat ringan. Kami berdiri di suatu tempat, sebuah bandar yang terlihat sangat terpuruk seperti tiada yang mengurusnya. Aku berada di tahun 1568, tahun di mana bandar Jayakarta mengalami kemorosotan yang luar biasa.

Aku melihat Fatahillah menitikkan air matanya. Ia berkata lirih kepadaku.

“Tuliskan pesanku kepada raja Surakarta. Sejarah yang telah aku torehkan di sini agar ia jadikan pelajaran kearifan. Aku sangat berharap, raja Surakarta itu dapat mengembalikan kejayaan Jayakarta, sebuah kemenangan besar untuk mencapai kesejahteraan. Jika ia berkenan, aku akan menjadi mentornya, sama seperti ketika aku menjadi mentor Maulana Hasanudin.”

Belum juga aku iya-kan pesannya itu, Fatahillah keburu lenyap dari hadapanku.