Jayakarta (1)

Pelabuhan Sunda Kalapa sore itu nampak lengang. Tetapi aku tetap harus berada di sana sebelum matari tenggelam. Pesan yang dibawa kepadaku sangat penting. Aku harus menemui seseorang yang namanya telah tercatat dalam sejarah kebangsaan negeri ini, yaitu Fatahillah.

Lelaki bersorban itu pasti Fatahillah. Ia melambaikan tangannya kepadaku, supaya mendekat kepadanya. O, ia masih seumuran denganku. Inikah sosok yang dipersiapkan oleh Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Demak? Menantu Sultan Trenggana – penguasa kerajaan Islam pertama yang berkedudukan di Demak itu, tersenyum dan menjabat erat tanganku.

“Assalamualaikum…. Kisanak yang bernama Kyaine?”

“Betul, Raden. Saya telah menerima sebuah pesan untuk menemui Raden di sini.”

Ia memandang ke arah laut.

“Kyaine, dulu para wali dan Kanjeng Sultan Trenggana memerintahkan diriku datang ke tempat ini. Aku datang bersama wadyabala prajuritku yang tangguh dengan semangat veni-vidi-vici, dengan membawa misi utama menyebarkan agama Islam. Aku menggempur ekspedisi Fransisco de Sa dan menguasai pelabuhan ini. Waktu itu armada Fransisco de Sa sangat lemah, karena mereka dihantam badai laut Cina Selatan. Jadi mudah bagiku untuk menaklukkannya. Dan pelabuhan Sunda Kalapa ini jatuh dalam kekuasaanku.”

Aku belum paham, mau ke mana arah pembicaraan Fatahillah ini. Kenapa ia mengawali dwi-wicara ini dengan sejarahnya sendiri, yang terjadi di tahun 1527? Namun, aku diam saja dulu untuk menyimak maksud dan tujuan ia menceritakan kisah itu.

“Wilayah ini kemudian aku ganti namanya menjadi Jayakarta.”

“Berarti kemenangan besar, ya Raden?”

“Betul Kyaine. Pilihan nama itu sengaja tidak aku comot dari inspirasi Islam yang menjadi alasan penyerbuan Sunda Kalapa, melainkan berbau Jawa. Bukan tanpa alasan menggunakan nama Jayakarta, karena nama itu juga nama lain dari Surakarta yang artinya keberanian untuk kesejahteraan!”

Hmm… aku mulai menangkap arah pembiacaraan Fatahillah. Pilihan nama Jayakarta menjadi bukti betapa kuatnya kuasa Jawa dalam menakhlukan Sunda Kalapa. Dan pemahamanku itu aku sampaikan kepada Fatahillah.

“Ya. Bukankah bagi orang Jawa, nama itu merupakan harapan. Sedangkan bagi orang Islam, nama adalah doa. Waktu itu aku berharap dan berdoa denan memberikan nama Jayakarta akan mendapatkan kemenangan besar. Namun…. waktu itu aku membuat kesalahan besar. Kota bandar Jayakarta yang ketika pada masa Sunda Kalapa menjadi pelabuhan penting dan kesohor seantero dunia, segera saja sepi dari perniagaan global.”

Fatahillah alias Tagaril alias Fachrullah alias Fadhilah Khan alias Falatehan itu menatap ke arahku, seakan minta pengertianku atas kesalahannya di masa lalu yang membuat kota bandar Jayakarta tak semoncer ketika bernama Sunda Kalapa.