Janda dari Jirah

Senja tiba, sungai baru terbentang, membelah dua kerajaan baru. Kadiri Janggala. Bersaudaralah, bersatulah. Memekik-mekik keharuan. Berbuncah-buncah airmata. Samarawijaya mencium tanah halaman istana Kadiri, memasuki istana yang menjadi bagiannya, mengedarkan pandangan dengan mata basah, larut dalam ketakjuban. Namun hilang lenyap keheningan, karena tiba-tiba murid utama Jirah, Rarung, melayang turun dari balik pohon tinggi.

“Tuanku, kami semua diperintahkan mengungsi ke bukit-bukit, menghindari hasrat pembunuhan. Ibu berpesan, apabila Tuanku menginginkan bantuan, Jaran Guyang akan menjadi penasihat sampai semua perlengkapan istana Tuan terlengkapi. Hal lain, yang patut Tuanku ketahui, enam desa yang menjadi tata krama Kabikuan lama, telah menjadi ladang pembantaian, semua penghuninya mati, dari anak-anak sampai orang tua, hanya murid Kabikuan yang selamat. Sebab sejak tanah Kabikuan diserahkan kepada Tuanku, Bharadah membuka halimun perlindungan tanah, semua halimun telah dicabut, tidak lagi sulit mencapai desa-desa Kabikuan, jadi sebab pasukan penyamar dapat memasuki desa-desa Jirah, dan membantai semua penghuninya…”

Samarawijaya terhenyak. Tak mampu berucap sepatah kata pun. Mulutnya memucat, matanya menguning. Naratoma terhuyung-huyung menahan ledakan tangis, menjangkau tembok-tembok istana yang rasanya hendak menimbun dirinya. Airlangga membisukan hatinya. Berdiam di peraduan dengan rambut tergerai. Membelakangi permasuri dan putrinya.

Kesedihan menusuk hati. Semua tangan lemas lunglai. Para penyair menanam pisau tulisnya. Masa berkabung datanglah. Kadiri menahan semua tangan agar jangan menuliskan peristiwa berdarah di tanah Kabikuan, sebab Airlangga akan kehilangan segalanya, apabila kejadian itu dituliskan.

Namun suara langkah di lorong istana terdengar begitu nyaring, tergesa-gesa pintu-pintu kayu berderit karena didorong, seperti bayi menangiskan jerit, menusuk telinga yang mendengar. Hanya sesaat. Lalu kembali hening. Hening mencekam hati.

Kemudian bersamaan dengan desau angin, yang mestinya mendatangkan senyap sejenak, suara itu terdengar lebih berat dari biasanya, memberi perintah dalam pilihan kata yang sangat sopan, namun mengandung getar isak tangis, “Tak ada satu pun penyair yang boleh mengungkapkan, dalam bahasa terselubung ataukah isyarat apa yang sebenarnya terjadi di Kadiri. Aku memohon kepada kalian, kejadian Desa Buangan, kejadian tanah-tanah Kebikuan hendaknya ditulis dengan sebijaksana mungkin, masa depan akan memberi penghormatan kepada semua keturunannya, dari semua masa keemasan semua ajarannya akan diikuti…”

Tanah terbelahlah.
aku pulang menyeru padamu, Ibu
Setra Gandamayu pun hening
membisulah semua pohon
bila ditanya ke mana mereka pergi
ke masa depan, menyambut Tantular sampai Astapaka, zaman ke zaman, tak akan mampu melupakan saranku: Ibu, itulah asal muasal kami, yang digelapkan karena kecerdasan dan keberanian mempertaruhkan masa depan keyakinan, selalu perih bila menyebut namamu, walau tak ada zaman yang menepati janjinya, selalu menyebut namamu…

~oOo~

Itulah bagian akhir dari cerita Janda dari Jirah, sebuah novel karya Cok Sawitri yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2007 setebal 184 halaman.