Jakarta untuk pertama

Pameo ibukota lebih kejam dari ibu tiri sudah saya kenal sejak sekolah dulu. Gambaran Jakarta dapat saya lihat dari film-film gratisan yang saya tonton di layar lebar yang digelar Lapangan Umum sebelah barat rumah saya. Ikon Jakarta yang ditampilkan – misalnya film Benyamin – adalah Tugu Pancoran, Monas atawa Tugu Selamat Datang.

Memang dalam gambaran film dan juga propaganda tentang urbanisasi hidup di Jakarta tidak mudah. Perantau yang berhasil menundukkan Jakarta akan menjadi orang sukses. Bahkan meskipun di Jakarta hidupnya empot-empotan ketika pulang kampung akan berpenampilan diri seolah-olah ia sudah menjadi orang yang mapan secara materi.

Saya hendak menceritakan perkenalan saya dengan Jakarta. Pada tahun 1989, saya menginjakkan kaki di Jakarta gara-gara menjadi peserta lomba karya ilmiah mahasiswa di mana lomba dilaksanakan di IKIP Jakarta Timur.

Yogyakarta – Jakarta ditempuh dengan menggunakan KA Senja Utama. Inilah untuk pertama kali saya naik kereta dalam kelas bisnis (kereta kelas ekonomi pun juga belum pernah) Ketika turun di Stasiun Gambir esok harinya, itulah untuk pertama kali saya menghirup udara Jakarta dan tentu saja, menatap dengan kagumnya Tugu Monas yang menjulang tinggi. Kala itu Monas terlihat sangat jelas dari Stasiun Gambir.

Di Jakarta pula untuk pertama kalinya saya minum air bukan air rebusan tetapi air minum dalam kemasan. Ada sensasi sendiri ketika mencobloskan sedotan ke plastik kemasan air dalam gelas. Waktu itu saya nggak asal coblos tapi ujung sedotan akan saya pas-paskan pada gambar lingkaran yang garisnya putus-putus. Sesungguhnya tak hanya saya saja yang punya pengalaman pertama kali minum air dengan cara demikian, teman yang dari Yogya sebagian besar pun demikian.

Pada waktu senggang acara lomba, saya dan teman sekelompok nglencer di seputaran lokasi lomba. Kami naik bajaj – ini pengalaman pertama kali dan satu-satunya hingga sekarang, tahu-tahu sudah sampai di pertokoan Senen (mungkin Atrium Senen). Di sini, untuk pertama kalinya saya naik lift dan eskalator.

Rangkaian acara lomba kelar sudah, panitia mengajak seluruh peserta lomba piknik keliling Jakarta. Taman Mini Indonesia Indah jadi tujuan terakhir piknik di hari itu. Lagi-lagi, sebuah tempat yang hanya terdengar di telinga, tak terduga saya menginjaknya, termasuk ditraktir panitia nonton bioskop tiga dimensi di Teater Keong Emas.

Tiga tahun kemudian, waktu itu saya sudah lulus kuliah, merantau ke Jakarta mengadu nasib menundukkan Jakarta. Pada episode ini untuk pertama kali saya naik bus kota Jakarta, KRL, dan ojek. Tak lama saya berada di Jakarta, hanya sekitar sebulan karena ditugaskan di Borneo Tengah. Nah, di sinilah untuk pertama kali saya naik pesawat terbang.

Tahun 1993 saya kembali ke Jakarta dengan status orang nggak punya pekerjaan.