Jakarta 1989

Salah satu gerbong KA Senja Utama yang berjalan ke arah Jakarta itu berisi puluhan mahasiswa UGM yang akan mengikuti Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa (LKIM) yang bertempat di Kampus IKIP Jakarta. Saya menjadi salah satu mahasiswa yang berada di gerbong tersebut. Saya – bersama Salim, Dedy, Wahid, Latifah dan Nunik, akan mengikuti LKIM Bidang Humaniora. Karya ilmiah kami tentang kebijakan Pak Koesnadi – Rektor UGM waktu itu, yang sukses menata Kampus UGM menjadi kampus yang asri dan nyaman.

Waktu itu tahun 1989, untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di Jakarta. KA Senja Utama berhenti di Stasiun Gambir dan kami dijemput oleh panitia dibawa ke asrama (saya tidak ingat persisnya di mana, sepertinya tidak jauh dari Kampus IKIP Jakarta). Seminggu kami berada di Jakarta.

Sambil menunggu pengumuman pemenang, saya dan teman-teman jalan-jalan keliling Jakarta naik bajaj. Kami berhenti di sekitaran Pasar Senen, mampir di pusat perbelanjaan. Di sinilah saya untuk pertama kali menaiki bajaj dan menggunakan eskalator. Beberapa sebelumnya, untuk pertama kali pula saya naik KA, kemudian di Kampus IKIP disuguhi air minum dalam kemasan yang saya kenal untuk pertama kalinya!

Di penghujung acara, oleh panitia acara kami diajak berkeliling Jakarta naik bus dan didampingi seorang pemandu. Ketika bus melewati jalanan padat ia berkata, “Di atas kita, yang sedang dibangun itu adalah jalan tol layang pertama di Indonesia, yang menghubungkan Cawang-Priok, dengan menggunakan teknologi Sosrobahu, karya anak bangsa.”

Kelak pada tanggal 9 Maret 1990, Presiden Soeharto meresmikan operasional jalan layang tol Cawang-Priok tersebut. Peresmian dilakukan di pintu gerbang Plumpang, Jakarta Utara. Jalan tol sepanjang 15,66 kilometer ini diberi nama Jalan Ir. Wiyoto Wiyono, seorang teknisi pembangunan jalan yang meninggal saat melaksanakan tugasnya.

Karena terlena melihat jalanan Ibukota, saya baru menyadari kalau kami dibawa ke TMII. Inikah ujud taman yang ditentang mahasiswa tahun 1971/1972 yang lalu? Saya bergumam, yang hanya telinga saya saja yang mendengar.

Sorenya kami diantar ke Stasiun Gambir untuk kembali ke Jogjakarta. Gerbong yang membawa kami pulang, penuh dengan kegembiraan. Sebagian besar dari kami menjadi Juara 1 Tingkat Nasional, demikian pula dengan kelompok saya.

Empat tahun kemudian, saya kembali datang ke Jakarta. Kali ini membawa misi menaklukkan Jakarta dan membawa uang sebanyak-banyaknya untuk orang tua di desa.

Selamat ulang tahun Jakarta!