Intip

Ini bukan membahas perkara intip-mengintip atawa intai-mengintai, tetapi nama sebuah makanan. Intip – bahasa Jawa, yang berarti kerak nasi.

Saya ingat di masa kecil dulu, ketika ibu di rumah memasak nasi dengan menggunakan kêndhil a.k.a periuk [selain menggunakan dandang tentu saja, karena saat itu belum kenal apa itu magic com/jar]. Biasanya, untuk proses pematangan sempurna, nasi dalam kêndhil tetap dipanaskan di atas tungku/kompor dengan nyala api yang kecil untuk menghindari gosongnya nasi. Nanti, setelah nasi matang dan dipindahkan ke dalam cêthing (bakul nasi terbuat dari bahan metal/aluminium) di bagian bawah kêndhil akan tersisa kerak nasi atawa dinamakan intip.

Intip itu tidak dibuang, tetapi dimakan juga. Paling tidak, ada dua cara menikmati intip. Pertama, ketika masih hangat intip diangkat dari kêndhil lalu dimakan dengan dibumbui parutan kelapa dan sedikit garam, lalu diawut-awut (dicampurbaurkan). Cara makannya bisa dengan dikepel-kepel, lalu diemplok. Lheb. Gurih dan nikmat!

Lalu yang kedua, intip diambil dari kêndhil tetap pada bentuknya yang utuh (bulat, berpola dari dasar kêndhil), kemudian intip tersebut dijemur sampai kering. Cara menikmatinya, intip yang sudah kering tersebut digoreng jadilah seperti rengginang. Mau rasa asin, taburi garam. Mau rasa manis, bisa diolesi dengan gula Jawa cair. Rasanya? Uenake pol.

Tips mengelupas intip dari kêndhil pernah saya lihat seperti yang dilakukan nenek saya dulu. kêndhil masih dalam keadaan panas, ditaruh di atas tanah (pawonnya nenek dulu masih beralas tanah) yang dibasahi air terlebih dahulu. Biarkan si kêndhil ngadem di situ, nanti dengan mudah kita mengambil intipnya.

Apakah Anda pernah menikmati rasa gurihnya intip?