Empat puluh tahun yang lalu, di ambang senja, di sebuah rumah papan yang sederhana seorang ibu tengah mempersiapkan sesaji inthuk-inthuk yang terdiri atas bubur putih dan bubur merah, telur ayam kampung, nasi dibungkus daun pisang dibentuk kerucut dan di puncaknya ditancapkan bawang merah dan cabe merah menghadap ke atas. Semua uba rampe sajen tadi ditaruh di atas nampan kayu dan diletakkan di sebuah meja bercat hijau (meskipun sudah kusam), kemudian sang ibu memejamkan mata sementara bibirnya komat-kamit merapal sebuah mantra: ing wetone anakku lanang, nyuwun slamet, seger-waras lan kanugrahan.
Sebuah doa keselamatan dan kesejahteraan untuk anak lelakinya bertepatan dengan wetonnya. Ritual itu dilakukan setiap jatuh weton anak-anaknya, tiga puluh lima hari sekali.
“Inthuk-inthuk ini untuk weton siapa buk?” tanya si anak.
“Wetonmu. Rebo Kliwon,” jawab si ibu sambil membetulkan letak cabe merah. “Besok, kamu puasa ya?” kata si ibu lagi.
“Sekarang hari Selasa to buk. Kok sudah buat inthuk-inthuk?” tanya si anak.
“Hitungan hari Jawa dimulai pas surup begini. Kira-kira pas bedug maghrib di langgar Pakde Wiro ditabuh,” papar si ibu.
Ritual membuat inthuk-inthuk dilakukan rutin oleh si ibu sampai anak lelakinya disunat. Selepas itu, tak pernah lagi. Tetapi, ia selalu mengingatkan anak-anaknya kalau weton mereka tiba. Laku pasa. Untuk olah batin, agar kuat menjalani penghidupannya.
padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesthi
pesunen sariranira
sudanen dhahar lan guling
sebuah tembang Kinanthi