Indahnya sebuah pertemanan

Di sebuah perempatan tlatah Mlati Sleman seminggu yang lalu. Setelah aku mengantar tamu, aku kudu kembali ke bandara karena dua jam lagi pesawat dari Surabaya mendarat dan ada satu tamu yang sudah menghubungiku untuk diantar ke Klaten.

Mobil aku pacu dengan kecepatan kisaran 20 – 30 km per jam, sebab lalu lintas agak padat. Tiba-tiba dari arah kanan ada motor menyelonong dan menabrak mobilku dan mengenai pintu kanan. Brakkk!

Motor jatuh sekaligus dengan pengendaranya. Mobil segera aku pinggirkan untuk melihat kondisi pemotor yang tengah terkapar.

Panasnya sinar mentari siang itu membuat otak orang-orang di sekitar TKP lekas mendidih. Dua orang mendatangiku dan menggedor pintu mobil supaya aku cepat turun. Selintas aku lirik pemotor yang gerakannya mirip orang yang terserang ayan. Aku mengkuatirkan keadaannya. Beberapa orang mulai menolong dengan mengangkat tubuhnya ke pinggir jalan. Sebagian yang lain meminggirkan motor yang jatuh tadi.

Dalam waktu singkat, TKP riuh-rendah oleh kerumunan orang. Dua orang yang menggedor pintu mobil tadi meminta SIM dan KTP-ku. Kekuasaan mereka melebihi polisi lalu-lintas. Aku yakin pada kasus ini aku tak bersalah namun karena mobil lawan motor, mobil yang akan (selalu) disalahkan.

Ada beberapa orang yang menjadi saksi kecelakaan motor tersebut, menyalahkan pemotor yang katanya sembrono memotong jalan. Mendengar kesaksian semacam itu, pengendara motor (yang kini sudah duduk) matanya kembali terpejam dan menggerakkan kedua tangannya, lagi-lagi mirip orang terserang ayan. Aku melihat kondisinya, tak ada luka di tubuhnya. Motornya tak ada yang rusak.

Namun, pintu mobilku penyok dan terdapat goresan dalam.

Massa yang siap jadi hakim sepakat kalau pemotor yang bersalah. SIM dan KTP-ku dikembalikan. Mereka minta pertanggungjawaban pemotor atas penyoknya mobilku. Saat itu posisiku di atas angin! Padahal dari tadi aku diam saja, toh akhirnya semua membelaku.

Dengan tangan gemetar, ia ambil hape dari saku celananya dan ia menghubungi kerabatnya supaya datang dan menyelesaikan urusan denganku.

Aku gelisah menunggu kedatangan kerabatnya sebab aku kuatir mengecewakan tamuku yang akan datang dari Surabaya jika urusan ini tak segera kelar. Apa lebih baik aku pergi saja?

Blaik! Betapa terkejutnya diriku ketika melihat siapa orang yang ditelepon pemotor tadi: ia adalah teman kuliahku yang puluhan tahun tiada bertemu.

Kami masih saling mengenalnya. Ia kini berada di Sleman karena sedang liburan akhir tahun. Ia sendiri bekerja di tlatah Sumatera bagian Selatan. Rupanya si pemotor adalah kakak iparnya.

Kasus ditutup.

Lebih tepatnya aku ikhlaskan kerugian yang aku derita akibat kecelakaan tersebut. Melihat situasi seperti itu, aneh bin ajaib, iparnya temanku tadi langsung segar bugar tiada sedikitpun tanda-tanda akan terserang ayan lagi.

PS: Kisah ini diceritakan oleh teman saya pada hari ini, ketika dalam perjalanan mengantar saya dari Bandara JOG ke SOC. Kakak ipar si pemotor tersebut juga teman kuliah saya, sebab kami dulu satu angkatan.